Sub Tema 2

Sub Tema 2.     Diskursi Kearifan Lokal dalam Rancang Bangun 

 

1. RAGAM HIAS ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI PADA GEDUNG KANTOR GUBERNUR BALI (Donna Sri Lestari Poskiparta danTri Anggraini Prajnawrdhi)

ABSTRAK

Bali sebagai salah satu destinasi pariwisata paling popular diIndonesia sangat menarik perhatian karena memiliki kekayaan ragam hias. Ragam hias Bali umumnya berupa hasil ukiran pada papan kayu yang dapat dijumpai pada tiang, jendela ataupun pintu. Sebagai hasil dari budaya tangible (berwujud) ragam hias umumnya mempunyai makna tertentu yang pasti dan tidak berubah pengertiannya sepanjang zaman. Keindahan alam di Bali tidak hanya sebagai sumber inspirasi dari warna ukiran namun juga berbagai bentuk yang telah disederhanakan pada ragam hiasnya. Ciri-ciri khas dari benda-benda alam yang dijadikan bentuk-bentuk hiasan masih menampakkan identitas walaupun diolah dalam usaha penonjolan nilai-nilai keindahannya. Tulisan ini mengkaji sejauh mana penerapan ragam hias khususnya ornament pada bangunan perkantoran yaitu Gedung Utara Kantor Gubernur Bali dan gedung pertemuan Wiswa Sabha yang merupakan bangunan modern. Pendekatan kualitatif deskriptif digunakan dengan melakukan pembandingan terhadap ragam hias tradisional Bali. Hasil menunjukkan bahwa penggunaan ragam hias arsitektur tradisional Bali digunakan sesuai dengan makna yang dikandung untuk memberikan identitas lokal pada kedua bangunan ini.

Kata Kunci:ornament,  ragam hias, tradisional Bali

Full Paper disini

 

2. KEARIFAN LOKAL MIGRAN MADURA PADA PERMUKIMAN KOTALAMA MALANG (Damayanti Asikin, Antariksa, Lisa Dwi Wulandari dan Wara Indira Rukmi)

ABSTRAK

Kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal berdasarkan pada nilai-nilai budaya lokal yang dapat dirasakan melalui kehidupan sehari-hari masyarakat serta merupakan respon atau hasil proses dialektika antara individu dengan lingkungannya.  Kearifan lokal berkembang melalui proses adaptasi/penyesuaian yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui budaya, terkait dengan hubungan antara makhluk hidup (termasuk manusia) dengan lingkungan sekitarnya. Untuk memahami kearifan lokal suatu lingkungan dapat dilihat melalui karakteristik lingkungannya yang berupa karakter lingkungan fisik dan lingkungan non fisik. Kota Malang merupakan salah satu tujuan migrasi masyarakat Madura yang berasal dari sejak tahun 1930. Permukiman Kotalama Malang merupakan salah satu titik  aglomerasi migran Madura di Kota Malang yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Kajian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kearifan lokal yang dibawa migran Madura pada permukiman Kotalama sebagai lokasi bermukim mereka di kota Malang. Kajian dilakukan dengan menggunakan  metode   penelitian   deskriptif   kualitatif,  penggalian   data melalui  wawancara mendalam pada narasumber kunci,  dan pengamatan, kemudian hasilnya dianalisis berdasarkan dua unsur utama kearifan lokal yaitu manusia beserta pola pikirnya dan alam beserta lingkungannya. Hasil kajian memperlihatkan bahwa kearifan lokal yang dibawa migran Madura pada permukiman Kotalama Malang lebih pada aspek manusia dan pola pikirnya dibandingkan aspek alam dan lingkungan yang lebih bersifat fisik.

Kata Kunci: kearifan lokal, migran Madura, permukiman Kotalama, Malang

 Full Paper disini

 

3. IDENTIFIKASI BANGUNAN KOLONIAL UNTUK PELESTARIAN FASADE DI JALUR BELANDA KOTA SINGARAJA BALI (Agus Kurniawan)

ABSTRAK

Bangunan Kolonial di sepanjang jalur Belanda Kota Singaraja Bali, menuntut penanganan secara serius oleh pihak Pemerintah Daerah Buleleng. Hal tersebut mutlak diperlukan sebagai upaya pelestarian nilai sejarah Kota Singaraja melalui bangunan kolonial sebagai potensi wisata yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng perlu melakukan pelestarian terhadap bangunan kolonial sebagai warisan karya arsitektur dengan menjaga nilai-nilai yang terdapat didalamnya. Berkaitan dengan hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bangunan kolonial sebagai langkah awal pelestarian fasade di jalur belanda Kota Singaraja. Tujuan lainnya adalah memberikan informasi mengenai pentingnya pelestarian pada bangunan-bangunan kuno, memberikan referensi kepada khalayak umum agar melestarikan bangunan kolonial yang banyak menyimpan sejarah kota dan membantu Pemerintah Daerah Buleleng untuk menjadikan jalur belanda sebagai wilayah pelestarian di Kota Singaraja. Metode penelitian menggunakan metode kombinasi, mengambil lokasi di kawasan bersejarah Kota Singaraja yaitu di koridor Jalan Ngurah Rai Singaraja di Kabupaten Buleleng. Sumber data primer yaitu bangunan kolonial beserta para pemilik atau masyarakat sekitarnya, sedangkan data sekunder adalah jurnal, hasil-hasil penelitian terdahulu, dokumen, manuskrip, peraturan daerah serta peraturan perundangan lainnya. Studi ini menghasilkan tiga kategori fasade yaitu: fasade bangunan masih asli (A), fasade yang telah mengalami perubahan sebagian (B), dan fasade yang sudah berubah total (C). Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fasade pada kategori B dan C, adalah faktor pertambahan penduduk, lingkungan alam fisik dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Sedangkan pada kategori B faktor yang mempengaruhi adalah adanya penemuan-penemuan baru.

Kata Kunci: Bangunan Kolonial, Jalur Belanda, Pelestarian Fasade

Full Paper  disini

 

4. REPRESENTASI TRADISI DEMOKRASI PADA ARSITEKTUR BALE BANJAR ADAT DI DENPASAR BALI (Christina Gantini dan Josef Prijotomo)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menjelaskan dan melakukan interpretasi (‘pembacaan’) atas nilai-nilai tradisi demokrasi masyarakat Bali lewat perwujudan bale komunal yang terdapat pada bale banjar adatnya. Beberapa fenomena tradisi demokrasi terlihat jelas saat mereka melaksanakan kegiatan musyawarah yang dikenal dengan nama paruman/sangkep banjar dimana tidak terdapat perbedaan kasta, semua krama (warga) banjar memiliki kesetaraan suara dan duduk sama rendah pada saat sangkep. Indikator tradisi demokrasi lainnya juga dapat dilihat dari adanya rotasi jabatan kelihan (pimpinan) banjar serta proses kaderisasi; terdapatnya keragaman aktivitas dan ragam waktu kegiatan yang egaliter, antara satu kegiatan dan kegiatan lainnya yang kesemuanya dapat diakomodir lewat tradisi solidaritas; terdapatnya kebhinekaan tampilan wujud dan tata letak bale banjar adat di Kota Denpasar. Temuannya adalah masyarakat banjar adat di Bali menganut tradisi demokrasi yang terdiri atas 1) tradisi kebebasan, disebut sebagai konsep aditivia; 2) tradisi egaliter, disebut sebagai konsep patuh/pateh; dan 3) tradisi solidaritas dikenal sebagai konsep menyamabraya.

Kata Kunci: arsitektur bale banjar adat, tradisi demokrasi, aditivia, patuh, menyamabraya

Full Paper disini

 

5. KARAKTERISTIK TANGIBLE DAN INTANGIBLE GEREJA TUA SIKKA – Sebagai Bukti Sejarah Masuknya Agama Katolik di Sikka (Yohanes Pieter Pedor P., I Wayan Kastawan, dan Widiastuti)

ABSTRAK

Kabupaten Sikka memiliki beberapa peninggalan bersejarah baik dalam bentuk rumah adat, istana, pemukiman tradisional maupun berupa bangunan peninggalan masa kolonial Belanda. Salah satunya adalah bangunan gereja tua yang terletak di Desa Sikka, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Gereja Tua Sikka. Gereja ini termasuk dalam kategori bangunan peninggalan masa kolonial Belanda pada tahun 1890. Hingga saat ini Gereja masih tetap menjalankan fungsinya sebagai sebuah tempat ibadah, sehingga terjadi perubahan/pergantian beberapa elemen fisik yang sudah rusak dan membahayakan bangunan dan penggunanya. Patut dikhawatirkan apabila perubahan terus terjadi dengan tidak memperhatikan nilai-nilai signifikan seperti sejarah, budaya, sosial, ilmiah, arsitektur dan estetika yang terwujud dalam fisik dan non-fisik Gereja, akan dapat mempengaruhi bahkan menghilangkan identitas dan kekhasan Gereja Tua Sikka. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi tangible dan intangible yang ada pada Gereja, sehingga apabila dilakukan perubahan lagi, tidak menyinggung ataupun menghilangkan nilai-nilai signifikan yang terkandung didalamnya. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan didukung dengan penelitian lapangan. Dokumentasi, wawancara mendalam dan studi literatur menjadi pendukung penelitian. Penyajian hasil penelitian berupa narasi deskriptif didukung dengan dokumentasi.

Kata Kunci: Gereja, Tangible, Intangible, Peninggalan bersejarah

Full Paper disini

 

6. KEUNIKAN BENTUK RAGAM HIAS PADA PURA DALEM DESA BEBETIN,   KECAMATAN SAWAN, KABUPATEN BULELENG (Tri Anggraini Prajnawrdhi, Ni Ketut Agusintadewi, Ni Luh Putu Eka Pebriyanti, dan Ni Made Mitha Mahastuti)

ABSTRAK

Bali dikenal sebagai pulau dengan seribu pura. Pura-pura yang ada di Bali memiliki pesona yang sangat kuat sebagai bentuk dari identitas pulau Bali. Bentuk serta ragam hias pura-pura yang ada di Bali sangat beragam dan masing-masing daerah yang ada di Bali memiliki ciri khasnya masing-masing. Tulisan ini ingin mengungkap kekayaan ragam hias yang terdapat pada Pura Dalem desa Bebetin yang terletak di Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng Bali. Dengan menggunakan pendekatan secara kualitatif melalui kegiatan observasi lapangan, wawancara dan dokumentasi dapat diketahui bahwasanya bentuk dan gaya yang mempengaruhi ragam hias pada pura ini mendapat banyak pengaruh dari negara Belanda, gambaran aktifitas  rakyat di masa lalu, bentuk flora dan fauna setempat serta Dewa –dewi dan tokoh-tokoh dalam legenda pewayangan. Bentuk dan motif ragam hias yang khas pada Pura Dalem Bebetin ini memberikan sebuah identitas kharakter yang kuat terhadap keberadaan pura ini.

Kata Kunci: bentuk, pura, ragam hias

Full Paper disini

 

7. BALE TUMPANG SALU PADA BANGUNAN UMAH DI DESA SIDATAPA-SINGARAJA (Anak Agung Ayu Oka Saraswati)

ABSTRAK

Umah/rumah di Desa Sidatapa sebagai arsitektur Bali Aga (Bali pegunungan) memiliki keunikan, berbeda dengan umah Arsitektur Bali Dataran yang banyak dikenal. Umah di Desa Sidatapa berupa satu unit bangunan yang terbuat dari struktur kayu, dan bidang horizontalnya bertumpang/bertumpuk serta disebut bale tumpang salu. Lebih kurang 50 cm di atas tanah terdapat struktur tumpang pertama sebagai tempat penghuni bersimpuh dan bersila untuk bersembahyang. Tumpang kedua terdapat di kiri kanan tempat ini. Terdapat bale bale tempat upacara dan tempat tidur dengan ketinggian lebih kurang 50 CM dari tumpang pertama, Tumpang ketiga merupakan tempat stana Tuhan dan leluhur. Bale tumpang salu merupakan tempat yang memiliki sprit of place yang penikmatan sence of place-nya dengan metode penikmatan estetika tempat (PET). Bale tumpang salu sebagai tempat merupakan suatu local genius.

Kata Kunci: bale tumpang salu, tempat (place), lokal genius, Arsitektur Bali Aga, Desa Sidatapa-Singaraja

Full Paper disini

 

8. BENTUK DAN MAKNA ARSITEKTUR DAN ORNAMEN MONUMEN BAJRA SANDHI (Sri Indah Retno Kusumowati dan Tri Anggraini Prajnawrdhi)

ABSTRAK

Monumen Bajra Sandhi adalah sebuah karya arsitektur dari Ida Bagus Gede Yadnya yang mengacu pada Konsep Tri Hita Karana, Tri Mandala dan Tri Angga. Secara horisontal  tapak bangunan yang mengacu pada konsep Tri Mandala yaitu bagian gedung monumen sebagai pusat orientasi bangunan sebagai Utama Mandala, Bagian pelataran mengitari monumen sebagai Madya Mandala dan Lapangan sebagai Nista Mandala. Sebagai Utama Mandala bangunan utama dibagi dalam skala paling tengah terletak di lantai 3 atau lantai tertinggi sebagai Utamaning Utama tempat yang paling tenang, Madyaning Utama terletak di lantai 2 terdapat diorama museum sebagai museum. Nistaning Utama terletak pada lantai dasar gedung berfungsi sebagai publik area. Secara Vertikal bangunan mengadaptasi konsep Tri Angga yaitu kepala adalah bagian atas yang kosong sebagai symbol keabadian, Badan adalah bagian yang berisi diorama dan kaki adalah basemen dan taman – taman. Nilai filosofis yang terdapat pada Monumen Bajra Sandhi adalah kisah Pemutaran Gunung Mandara Giri oleh Dewa dan Raksasa yang bekerjasama untuk mendapatkan Tirtha Amertha pada lautan susu. Interpretasi terhadap suatu monument Bajra Sandhi sebagai bentuk  arsitektur bertujuan untuk menjelaskan sebuah obyek dan mencari arti yang lebih luas seperti filosofi, budaya, seni, sosial, dan kepercayaan.

Kata Kunci: Monumen, Braja Sandhi, Bentuk, Makna, Arsitektur

Full Paper disini

 

9. KAJIAN PENERAPAN ARSITEKTUR DAN RAGAM HIAS TRADISIONAL BALI PADA KORI AGUNG BANGUNAN BALAI PERTEMUAN DI KANTOR DRPD BALI (Syilvia Agustine Maharani, Tri Anggraini Prajnawrdhi)

ABSTRAK

Pamesuan, khususnya pada penelitian ini Kori Agung, merupakan salah satu elemen pada arsitektur tradisional Bali yang masih digunakan pada arsitektur modern, dan memberi nilai dan karakter Bali pada bangunan tersebut. Sehingga walaupun besarnya pengaruh budaya luar pada arsitektur di Bali, penerapan arsitektur tradisional Bali masih menjadi pilihan tersendiri untuk memberi karakter dan daya tarik pada bangunan modern. Salah satunya dengan memberikan pamesuan atau kori agung pada bagian entrance. Tidak terlepas pada fungsi publik seperti perkantoran daerah Bali, terlebih pada bangunan pemerintah mengharuskan adanya karakter Bali, pemberian kori agung yang pada umumnya digunakan dalam Pura pun memberi nilai tersendiri. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan gambaran bangunan Kori Agung pada bangunan kantor DPRD Bali dan elemen-elemen yang tertera pada bangunan tersebut. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan objek penelitian adalah kori agung yang terdapat pada kantor DPRD Bali. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan observasi lapangan dan perbandingan dengan studi literatur terkait. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa elemen-elemen yang tertera pada bangunan kori agung ini memiiliki keterkaitan dari fungsi dan makna awal sebagai sebuah pemaknaan semiotika.

Kata Kunci: Elemen arsitektur, Pamesuan, Kori Agung, Kantor DPRD Bali.

Full Paper disini

 

10. ADAPTASI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI PADA BALAI PERTEMUAN DPRD RENON, BALI (Made Chryselia Dwiantari, Tri Anggraini Prajnawrdhi)

ABSTRAK

Gaya arsitektur tradisional Bali adalah corak penampilan arsitektur yang dapat memberikan citra/nuansa arsitektur berlandasarkan budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu melalui penerapan berbagai perinsip bentuk yang mengandung identitas maupun nilai-nilai arsitektur. Pengaplikasian arsitektur tradisional pada gedung-gedung modern salah satu contohnya ialah perkantoran tidak terlepas dari menjaga arsitektur lokal agar tidak tergerus oleh jaman dan hilang terlupakan generasi mendatang. Penelitian ini mengambil bangunan Balai Pertemuan DPRD Bali yang mengadaptasikan bentuk Bale Kambang dengan menggunakan metode kualitatif dengan analisa deskriptif kompartif sehingga hasil penelitian ini mampu mengetahui bentuk atap, badan bangunan dan kaki bangunan serta ornamen yang diadaptasikan.

Kata Kunci: bale kambang, balai pertemuan DPRD renon, komparasi

Full Paper disini

 

11. KAJIAN ERGO-ARSITEKTUR PADA DAPUR TRADISIONAL DI BANJAR TIGA KAWAN, DESA PENGLUMBARAN, BANGLI-BALI (Ida Bagus Gde Primayatna, I Gusti Agung Bagus Suryada)

ABSTRAK

Memasak merupakan salah satu kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Umumnya di pedesaan seperti dapur tradisional di Banjar Tiga Kawan, Desa Penglumbaran, Kabupaten Bangli. Kegiatan ini masih menggunakan tungku dengan bahan bakar kayu api. Dari pengamatan awal terlihat adanya suasana kerja yang kurang ergonomis, bukaan ventilasi sangat minim. Hal ini menimbulkan pencahayaan, aliran udara sangat minim sehingga ruang menjadi lembap, gelap dan pengap. Proses pembakaran pada tungku menimbulkan asap dan jelaga sehingga menimbulkan keluhan pribadi yang dipersepsi dengan adanya gangguan pada mata dan pernafasan, sehingga menurunkan konsentrasi kerja. Hal ini dipandang perlu untuk diadakan suatu perbaikan suasana kerja di dapur yang mengacu pada konsep-konsep ergonomi. Upaya untuk perbaikan tersebut maka dirancang tempat kerja yang mengacu pada prinsip arsitektur yang ergonomik. Rancangan penelitian ini adalah rancangan sama subjek. Dilakukan terhadap 8 unit dapur tradisional beserta penggunanya di banjar tersebut. Data yang diperoleh dimaknai sebagai data masukan untuk langkah perbaikan semestinya dengan kajian ergo-arsitektur. Dari hasil pengamatan ruang kerja yang tidak nyaman mempengaruhi kesehatan dan produktivitas kerja.

Kata Kunci: dapur tradisional, suasana kerja, prinsip ergo-arsitektur.

Full Paper disini

 

12. EKSPANSI RUANG DALAM PADA BANGUNAN TRADISIONAL BALI (I Made Adhika)

ABSTRAK

Bangunan pada Arsitektur Tradisional Bali pada umumnya tidak terlalu tinggi (tinggi tiang lebih kurang 225 cm – 240 cm). Demikian pula halnya dengan ruang dalamnya relative kecil (450cm x 450 cm besaran unit bangunannya). Namun demikian, dalam bangunan yang relative rendah dan dimensi ruang yang relative kecil penghuni tidak merasa tertekan berada di dalam bangunan tersebut. Pada umumnya pada bangunan yang relative rendah dan luas ruang ruang yang kecil penghuni akan merasa tertekan berada di dalamnya. Dengan  demikian timbul pertanyaan bagaimana asitektur tradisional Bali menyikapi kondisi tersebut. Tulisan ini ingin mengemukan ulasan  tentang bagaimana arsitektur Bali dalam mengolah ruang dalam agar ruang yang tercipta terasa lega walau bangunan relative rendah dan luas ruang yang relative kecil.   Untuk mendukung tujuan ini maka dilakukan studi lapang pada desa tradisional Bali. Hasil yang didapat akan dianalisis secara kualitatif tentang ruang dalam pada arsitektur bangunan tradisional Bali.  Hasil analisa menunjukan bahwa arsitektur tradisional Bali telah mengekspansi ruang dalam bangunannya agar dapat lebih merasa lega. Bangunan pada arsitektur tradisional Bali menggunakan ruang-ruang yang menerus, mengghindari penggunaan sekat secara permanen. Bahkan pada fungsi tertentu bangunan tradisional Bali dua bagian sisinya dapat dibuka sehingga menimbulkan fleksibilitas fungsi ruang dan tidak menimbulkan rasa tertekan. Hal ini dapat diambil manfaatnya dalam bangunan diperkotaan dengan lahan semakin sempit, mahal, dan langka.

Kata kunci:  arsitektur tradisional Bali, ekspansi, lega,  ruang dalam

Full Paper disini

 

13. KEARIFAN EKOLOGIS BANGUNAN VERNAKULER DALAM KONTEKS MITIGASI BENCANA (Sri Utami)

ABSTRAK

Kondisi wilayah Indonesia mempunyai banyak gunung berapi yang masih aktif. Aktivitas vulkaniknya telah memberikan warna tersendiri bagi bangunan rumah tinggal disekitar wilayah sekitarnya. Masyarakat lokal di wilayah ini, umumnya telah memiliki kearifan ekologis dalam membangun rumah tinggal  melalui “niteni” perilaku alamnya. Adaptasi dan mitigasi pada bangunan rumah tinggal di wilayah bencana telah dilakukan oleh masyarakat terdahulu. Ini merupakan bagian dari kearifan ekologis yang telah dimiliki masyarakat Indonesia. Namun sejalan dengan perkembangan waktu dan teknologi, warna arsitektur vernakuler sebagai karakter bangunan wilayah tertentu telah mulai menghilang, terutama ciri khas bangunan rumah tinggalnya. Agar warna alam ini bisa tetap tampil sebagai ciri khas lingkungan binaan wilayahnya, maka perlu kajian mendalam tentang karakter alam sebagai faktor penentu dalam proses perencanaan dan perancangan kembali bangunan di wilayah rawan bencana. Harmonisasi antara manusia, bangunan dengan alam sebagai faktor utama dalam kajian mitigasi bencana.

Kata Kunci: Kearifan ekologis, arsitektur vernakular, mitigasi bencana

Full Paper disini

 

14. MEMAHAMI ESENSI RUANG DOMESTIK PADA MASYARAKAT TRADISIONAL BALI AGA DI DESA SEKARDADI, KINTAMANI (Ni Ketut Agusintadewi, I Wayan Yuda Manik, Ni Made Mitha Mahastuti)

ABSTRAK

Ruang sebagai suatu kebutuhan dasar manusia yang hakekatnya menjadi satu hal yang perlu dipahami sesuai fungsi dan penghuninya. Bagaimana ruang tercipta merupakan cerminan dari setting aktivitas dan tempat dimana ruang itu berada. Pada tradisi berumah, ruang-ruang domestik terbentuk dari fungsi yang mewadahi aktivitas-aktivitas dasar berumah. Dalam kompleksitas hubungan antara penghuni dan rumahnya, budaya memainkan peran dalam memaknai ruang-ruang tersebut. Masyarakat tradisional Bali Aga di Desa Sekardadi, Kintamani, memiliki kekhasan dalam menata ruang-ruang domestiknya. Layout huniannya memiliki tiga bangunan: paon, tempat tidur anak laki-laki; dan jineng. Tulisan ini bertujuan untuk mengenal bagaimana masyarakat tradisional Bali Aga di Desa Sekardadi memaknai ruang-ruang domestik dalam tradisi berhuni mereka. Data lapangan menunjukkan bahwa sistem kepercayaan menempatkan paon dan jineng sebagai ruang-ruang domestik yang disakralkan. Pembentukan makna dalam rumah mereka terwujud dari mengsakralkan pada suatu ruang. Budaya berperan dalam kompleksitas hubungan antara penghuni dan huniannya untuk menghasilkan serangkaian pengalaman berumah, terutama dalam penggunaan ruang-ruang domestik.

Kata Kunci: ruang-ruang domestik; kehidupan berumah; masyarakat tradisional Bali Aga

Full Paper disini