Sub Tema 1

Sub Tema 1.       Interpretasi Filosofi dan Konsepsi 

 

1. KONSEP PANCA MAHA BHUTA DALAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN TAMAN REKREASI KALIANGET WONOSOBO (Daisy Radnawati, Samsud Dlukha, Ray March Syahadat, Priambudi Trie Putra)

ABSTRACT

Kalianget Recreation Park is one of tourism attraction in Wonosobo, Central Java Province. It is located on the main route to Dieng Plateau, a well-known highland for its scenery and cultural attraction. There are some problems that occurred in Kalianget Recreation Park. The lack of management has reduced the visitors’ interest since it was opened. It also has division of space problems. The impact of Dieng Plateau route has not been optimized as a transit place for tourist. This article provides a concept as recommendation for landscape planning and design at Kalianget Recreation Park. The concept used is Panca Maha Bhuta. Panca Maha Bhuta is the object of nature and its contents are banu (ray-air-devil), bani (brahma-fire), banyu (water), bayu (wind), and bantala (earth-land). This article also provide an overview of how Panca Maha Bhuta presented in the spatial and design of Kalianget Recreational Park using the language of landscape theoretical approach.

Keywords: design, division of space, landscape, spatial pattern

Full Paper disini

 

2. PENGARUH KONSEP CATUS PATHA TERHADAP TATA RUANG PEMUKIMAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI MASYARAKAT BALI – Studi Kasus:  Desa Jati Bali, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Imade Krisna Adhi Dharma, Weko Indira Romanti Aulia)

ABSTRAK

Masyarakat Bali yang mengikuti program transmigrasi di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara secara tidak langsung akan membawa tradisi dan kebudayaan hidupnya termasuk dalam menata ruang seperti halnya konsep Catus Patha atau yang dikenal sebagai pempatan agung. Konsep Catus Patha yang sakral memberikan pengaruh terhadap tata ruang masyarakat Bali seperti penentuan letak area pemukiman, letak sarana peribadatan, pusat pemerintahan dan alun-alun. Permasalahan yang terjadi yakni ketika masyarakat Bali yang menjadi transmigran tersebut menempati kawasan baru yang telah didesain oleh pemerintah tanpa mempertimbangkan aspek penataan ruang tradisional masyarakat Bali sehingga transmigran masyarakat Bali perlu beradaptasi dan melakukan tindakan penyesuaian terhadap tata ruang kawasan transmigrasi tersebut khususnya terhadap penerapan konsep catus patha. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan spasial (makro) terhadap bentuk pengaruh konsep catus patha di daerah transmigasi termasuk perkembangan aspek spasial yang terjadi. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa konsep catus patha memiliki pengaruh besar dalam menentukan peruntukkan ruang di kawasan transmigrasi di Desa Jati Bali, seperti penempatan kawasan pemukiman, kantor desa, tempat peribadatan hingga ladang. Untuk fungsi peribadatan (areal suci) diprioritaskan ke arah Utara dan Timur sedangkan area madya diperuntukkan untuk pemukiman dan areal ladang, kandang hewan menempati area nista di sisi Utara-Barat.

Kata Kunci: catus patha, Desa Jati Bali, transmigrasi, Sulawesi Tenggara

Full Paper disini

 

3. KONSEPSI DAN MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA BANGUNAN KEKINIAN – Sebuah Intepretasi Masyarakat Lokal Bali Tengah pada Transformasi Rumah Tradisional (I Dewa Gede Agung Diasana Putra)

ABSTRAK

Bentuk rumah tradisional didisain berdasarkan pemahaman penghuni dan masyarakat terhadap aktivitas sosial budaya dan agama. Meskipun demikian, sebagai bagian dari sebuah budaya, rumah tradisional juga mengalami proses transformasi dalam sebuah proses transmisi tradisi-tradisi. Transformasi adalah sebuah proses dinamis dimana konfigurasi fisik, aktivitas keagamaan dan sosial mengalami perubahan secara menerus didalam merespon kondisi kekinian sebagai sebuah representasi kemajuan teknologi dan gaya hidup baru yang diimport dari budaya-budaya luar. Proses transmisi ini membangkitkan sebuah pertanyaan tentang keberlanjutan bentuk-bentuk rumah tradisional didalam proses modernisasi di Bali. Menggunakan evaluasi arsitektur dan metode grafis, paper ini akan mendemonstrasikan bagaimana penduduk lokal mengadopsi standar hidup modern sementara mereka berusaha mempertahankan konsep tradisional dalam sebuah rumah. Akan tetapi, tatanan baru tersebut telah menginfiltrasi klasifikasi tradisional dari rumah tradisional yang mana pemaknaan dari konsep dan nilai-nilai dari rumah, yang didisain berdasarkan ketentuan yang ketat dalam kerangka rituals, telah berubah menjadi lebih fleksibel. Paper ini menyatakan bahwa transformasi dapat dilihat sebagai sebuah respon pragmatik untuk mengakomodasi tantangan baru dalam sebuah masyarakat dalam mengintepretasikan konfigurasi rumah tradisional.

Kata Kunci: konsep dan makna, intepretasi, rumah tradisional, transformasi, proses transmisi

Full Paper disini

 

4. FAÇADE DAN LANDSCAPE BALI, INTERPRETASI DAN KONSEP TATA RUANG LINGKUNGAN TERBANGUN DESA BAYUNG GEDE (Petrus Rudi Kasimun)

ABSTRAK

Bali dengan jumlah wisatawan 4,4 juta pada tahun 2016)1) dengan asal wisatawan dari sepuluh negara didunia maka tekanan globalisasi dan kapital sangat nyata. Percepatan perkembangan membutuhkan up-date disegala bidang terutama lingkungan binaan atau arsitektur. Desa tradisional Bayung Gede sudah terdeterritorialisasi secara tekstual pada tahun1972 dan tahun 1987, sehingga menjadi pilihan yang menarik untuk penelitian.  Intepretasi dan konsep ‚Face‘ dan ‚Landscape‘ dari Deleuze merupakan sebuah wacana teori yang bertujuan   untuk melakukan deteritorialisasi dan reterritorialisasi tata ruang lingkungan binaan. Dengan  menggabungkan beberapa kondisi plateaus maka akan terjadi keseimbangan baru dan arsitek dapat melakukan assemblages yang bertujuan untuk menciptakan ‚face‘/ wajah spiritual, bukan yang primitif atau yang menakutkan

Kata Kunci: Face, Landscape,deteritorialisasi, reteritorialisasi, assemblage.

Full Paper disini

 

5. IDENTIFIKASI BENTUK, STRUKTUR, DAN KONTRUKSI BALE METEN SAKAULU PADA ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI DI DESA GUNAKSA, KLUNGKUNG (I Nengah Lanus, I Nyoman Susanta, Gede Windu Laskara)

ABSTRAK

‘Bale meten sakaulu’ adalah salah satu unit bangunan yang berfungsi sebagai ‘bale daja’ pada rumah tradisional Bali. Walaupun memiliki fungsi yang sama, ‘bale meten sakulu’ memiliki perbedaan bentuk dan struktur dengan bangunan ‘bale meten/bale daja’ pada umumnya. ‘Bale sakaulu’ untuk fungsi ‘meten’ mempunyai bentuk memanjang dengan menggunakan atap pelana, sedangkan bale sakaulu pada fungsi lainnya cenderung berbentuk segi empat dengan penggunaan atap limas. ‘Bale meten sakaulu’ adalah salah satu bangunan tertua (kuno) di Bali dengan ciri-ciri : 1)bentuk dan kontruksi sangat sederhana namun fungsional; 2)belum memikirkan faktor estetika pada ruang dalam; 3) minim pencahayaan dan penghawaan karena fungsinya hanya tempat beristirahat/tidur. Saat ini, bangunan ini jarang ditemui, karena telah terganti ‘bale meten’ jenis lain, yang asli hanya dibangun pada saat sistem kerajaan masih berlaku. Aturan kerajaan, ‘bale meten sakaulu’ ini adalah jenis bangunan ‘bale meten’ yang diperuntukan bagi kalangan rakyat biasa. Penelitian ini memaparkan tentang identifikasi bentuk, struktur, dan kontruksi dari bale meten sakaulu yang terdapat di Desa Gunaksa, Klungkung. Pemaparan dilakukan secara desktiptif komparatif, dengan metode observasi dari dua sampel. Tujuan penelitian ini untuk dokumentasi arsitektur bali kuno sebelum benar-benar punah akibat perubahan global dalam arsitektur.

Kata Kunci: bentuk, struktur, kontruksi, bale daja, sakaulu, arsitektur tradisional bali.

Full Paper disini

 

6. IGNITION FACTOR SEBAGAI INFORMASI BERHARGA DISAIN ARSITEKTUR (Heru Sufianto)

ABSTRAK

Salah satu kriteria utama rancangan arsitektural adalah aspek perlindungan penghuni bangunan dari ancaman kebakaran. Arsitek dituntut untuk mengetahui informasi terkait untuk diterapkan dalam karya disain. Studi ini berupaya menggali informasi yang dibutuhkan belajar dari peristiwa kebakaran di Jakarta dan Surabaya selama 5 tahun. Informasi akan Ignition Factor dari kejadian kebakaran dikumpulkan oleh dinas pemadam kebakaran dianalisa untuk mengetahui penyebab terjadinya kebakaran pada bangunan rumah tinggal. Data Ignition Factor diidentifikasi dan di kategorikan dengan mengadopsi system klasifikasi dari Australia (AIRS: Australian Incident Reporting System) untuk melihat keterkaitan antara Ignition Factor, lokasi kebakaran, jenis material yang pertama terbakar, jenis panas dan peralatan yang terbakar. Penelitian ini menghasilkan usulan intervensi yang dapat dilakukan oleh arsitek dan pihak terkait untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran baik pada tahapan perencanaan maupun operasional bangunan.

Kata kunci: ignition factor, skenario kebakaran, hubungan pendek arus listrik

Full Paper disini

 

7. DARI TEKS MENJADI ARSITEKTUR: Interpretasi terhadap Naskah Lontar Asta Kosala Kosali (I Nyoman Nuri Arthana)

ABSTRAK

Lontar Asta Kosala Kosali (AKK) merupakan sebuah naskah yang didalamnya memuat tentang tata cara membangun bangunan yang telah menjadi pedoman secara turun temurun, dimana didalamnya mengandung pengetahuan material maupun spiritual. Telah banyak dilakukan pengkajian terhadap lontar AKK, sebagai bentuk apresiasi atas keberadaannya. Diantara telaahan dan kajian yang telah dilakukan sebagian besar berada dalam ranah keilmuan sastra, bahasa dan budaya, padahal lontar AKK dapat pula dikaji dalam ranah keilmuan arsitektur. Atas dasar keberadaan dan potensi pengetahuan yang terkandung dalam lontar AKK, dan terbukanya peluang untuk dilakukan pengkajian dalam ranah keilmuan arsitektur, maka karya tulis ini akan mencoba untuk menjelajahi sebagian kecil dari kandungan lontar AKK dengan cara melakukan penafsiran untuk mengungkap esensi pengetahuannya. Kajian ini akan mendudukkan naskah lontar AKK sebagai teks, dimana pada dasarnya kajian yang dilakukan meliputi kegiatan penafsiran dan penterjemahan. Oleh karena itu metode yang akan digunakan dalam kajian ini adalah metode interpretasi dengan tahapan mengkatakan, menterangkan dan menterjemahkan. Kesimpulan dari hasil kajian ini menunjukkan bahwa ‘Purwa’ dan ‘Kangin’ adalah kata yang memiliki makna yang sama yaitu arah Timur. Kedua kata ini digunakan untuk membedakan konteks substansi isi dari teks dalam hal ini lot 27 dan lot 47. Disisi lain makna arsitektural lot 27 adalah larangan meletakkan dapur diarah Timur karena pertimbangan arah hembusan angin, sedangkan lot 47 berkenaan dengan tata cara pengukuran lahan perumahan yang harus dimulai dari Timur ke Barat, mempertimbangkan kemanfaatan sisa lahan hasil pengukuran itu sendiri.

Kata Kunci: Teks, Arsitektur dan Interpretasi

Full Paper disini

 

8. LANDASAN KONSEPSUAL DAN PENERAPAN PRADAKSINA DAN PRASAWYA DALAM PERWUJUDAN ARSITEKTUR HINDU BALI (I Nyoman Widya Paramadhyaksa)

ABSTRAK

Konsepsi Pradaksina dan Prasawya telah lama dikenal dalam tatanan budaya tradisional Bali. Pradaksina umumnya dimaknai sebagai pola sirkulasi yang membentuk jalur melingkar memutar searah putaran jarum jam. Prasawya berkarakter kebalikan dengan Pradaksina, yaitu sebagai pola sirkulasi berbentuk jalur melingkar memutar berlawanan arah putaran jarum jam. Penerapan konsepsi Pradaksina dan Prasawya terdapat dalam berbagai wujud tatanan budaya tradisional Bali, seperti dalam prosesi ritual, seni tari, karya seni arsitektur, bahkan dalam aturan permainan rakyat. Meskipun demikian adanya, tidak banyak yang mengetahui tentang dasar filosofi yang melatarbelakangi konsepsi Pradaksina dan Prasawya dalam berbagai wujud penerapannya di Bali. Tulisan ringkas ini berisikan kajian tentang latar filosofis dan makna esensial dari Konsepsi Pradaksina dan Prasawya. Dalam beberapa bagian juga dipaparkan ulasan tentang berbagai gambaran penerapannya dalam bidang budaya, seni, dan arsitektur. Kajian yang digunakan menggunakan paradigma rasionalistik, metode hermeneutik, dan beberapa macam pendekatan studi, seperti pendekatan atas makna ritual, seni, morfologi, dan keruangan. Kajian ini menunjukkan temuan tentang adanya relasi kedua konsepsi tersebut dengan (1) pola pergerakan matahari dalam sudut pandang komunitas di bumi serta (2) kosmologi Hindu dan Buddha tentang dua kutub saling beroposisi yang dimiliki Gunung Meru. Konsepsi Pradaksina dan Prasawya tersebut pada dasarnya juga memuat makna simbolis tentang jalan menaik dan menurun.

Kata Kunci: Pradaksina, Prasawya, filosofi, budaya tradisional Bali, arsitektur.

Full Paper disini

 

9. MAKNA SIMBOLIS PENATAAN PALEBAHAN SEBAGAI UNSUR DASAR KOMPLEKS PURI DI BALI (Anak Agung Gde Djaja Bharuna S)

ABSTRAK

’Puri’ di Bali sering dianggap ‘Ista Dewa’ – tempat tinggalnya para raja. Puri di Bali dibangun dengan mengikuti berbagai aturan tertentu, antara lain bahwa kompleks puri terbagi dalam beberapa ’palebahan’. Palebahan adalah areal yang dibatasi oleh pagar keliling dan di dalamnya terdapat beberapa bangunan dengan fungsi atau kegunaan tertentu. Berdasar dari proposisi untuk mengkaji makna simbolis penataan palebahan, paper in beraspirasi mengurai tentang palebahan sebagai unsur dasar dalam kompleks puri. Sebagai kajian interpretasi filosofis, maka pendataan lebih didasarkan pada studi pustaka serta penelitian yang telah banyak dilakukan, serta diupayakan pula kegiatan observatif di beberapa puri yang mewakili. Tujuan kajian bermaksud mengetahui makna puri melalui penataan palebahannya. Uraiannya diawali dengan mempresentasikan variasi spesifik formasi spasial dan arsitektural yang dimiliki puri. Bagian ini tidak hanya melingkup eksistensi fisik tetapi juga makna simbolisnya. Bagian akhir adalah upaya pemberian makna terhadap puri, khususnya lebih berkaitan dengan kedudukan puri dalam masyarakat, serta kedudukan raja/keluarga raja, sebagai penghuni puri. Upaya ini dilakukan untuk mengurai makna khusus puri sebagai kompleks bangunan istana raja. Hasil kajian adalah, bahwa yang membentuk struktur kompleks puri sebenarnya adalah palebahan-palebahannya yang mengikuti pola ’Sanga Mandala’ serta mengacu pada kedudukan dewa-dewa ’Asta Dikpalaka’, namun karakter dan identifikasi fungsi diberikan oleh bangunan-bangunan yang ada di dalamnya.

Kata Kunci : Puri, Makna Simbolis, Penataan Palebahan, Unsur Dasar

Full Paper disini

 

10. TRANSFORMASI KONSEP SARA PATAANGUNA PADA RUMAH TRADISIONAL BUTON MALIGE DI KOTA BAUBAU SULAWESI TENGGARA (Muhammad Zakaria Umar, Muhammad Arsyad)

ABSTRAK

Dalam bidang arsitektur terasa sekali adanya upaya-upaya mengadaptasi rumah tradisonal Buton ke bangunan pemerintahannya. Gejala tersebut harus tetap dicermati, agar tidak mengutamakan penampilan fisik tetapi mengabaikan makna yang esensial. Komponen fisik dan wajah visualnya dipakai, tetapi filosofi, tatanilai, lambang-lambang, dan pemaknaan sosial dari benda-benda, terabaikan. Napas dan jiwa arsitektur tradisional perlu ditangkap dan diejawantahkan kembali ke dalam wadah yang baru. Tetapi kita perlu harus hati-hati. Filosofi Sara Pataanguna (Empat Syarat Kerukunan dan Persaudaraan) pada masyarakat Buton diwujudkan dalam bentuk rumah tradisional Buton. Filosofi Sara Pataanguna terbagi empat, sebagai berikut: Pomaa-maasiaka artinya saling menyayangi; Popia-piara artinya saling memelihara; Pomae-maeka artinya saling takut; dan Poangka-angkata artinya saling menghormati. Sehingga, setiap elemen-elemen arsitektural dari rumah tradisional Buton Malige diendap oleh filosofi Sara Pataanguna. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pengumpulan data fisik dan non fisik dilakukan dengan cara studi literatur. Hubungan filosofi Sara Pataanguna dengan data fisik dan non fisik dibuat dalam bentuk tabulasi data. Data dalam bentuk tabulasi dianalisis dengan teknik analisis triangulasi, teknik analisis interpretasi, dan teknik analisis isi sehingga ditemukan filosofi Malige. Penelitian ini disimpulkan bahwa filosofi Sara Pataanguna adalah filosofi rumah tradisional Buton Malige, karena makna dan fungsi dari simbol-simbol arsitektural pada rumah tradisional Buton Malige mengandung prinsip-prinsip yang sama dengan filosofi Sarapataanguuna.

Kata Kunci: filosofi Sara Pataanguna, rumah tradisional Buton Malige

Full Paper disini