Sub Tema 4

Sub Tema 4.  Identitas Lokal pada Ruang Kota Masa Kini

1.  KONSEP RUANG KOMUNAL SOSIO-KULTURAL KOTA MULTI-ETNIS HISTORIS GRESIK ( Dian Ariestadi, Antariksa, Lisa D. Wulandari dan Surjono )

ABSTRAK

Wilayah kota lama Gresik merupakan gambaran historis kota-kota awal di pantai utara Jawa yang berkembang sebagaimana kota-kota besar saat ini. Kota-kota tersebut merupakan kota pelabuhan, simpul transaksi antara kota-kota kerajaan di pedalaman dengan dunia luar. Kota berkembang menjadi bandar perniagaan hingga menjadi pusat perekonomian dan budaya sebagai kota multi-etnis dan multi-kultur. Permasalahan morfologi kota multi-etnis teridentifikasi berkaitan dengan permasalahan integrasi – segregasi dalam ruang komunal – ruang berbagi. Kajian bertujuan menemukan konsep ruang komunal sebagai salah satu unsur pembentuk struktur ruang kota yang berkaitan dan mendukung aspek sosial, budaya, dan lingkungan fisik. Studi ini menggunakan pendekatan morfologi spasial dan arsitektural, melalui observasi fisik dan non fisik, validasi arsip dan catatan sejarah, serta analisis deskriptif terkait dengan aspek sosial dan kultural masyarakat. Hasil menunjukan: 1) Kota lama Gresik terbentuk dan berkembang  sebagai pusat perdagangan dan pusat penyebaran agama islam awal di Jawa,  2) Pola morfologi Kota Gresik didominasi hunian multi-etnis dari etnis Arab, Cina,  ex-kolonial Belanda, serta pribumi Jawa dan Madura, 3) Fungsi lingkungan adalah bangunan hunian sekaligus kegiatan wirausaha, bangunan perekonomian dan perkantoran kecil, serta bangunan peribadatan dan makam-makam tokoh/ulama, dan 4) Konsep ruang komunal yang terbentuk didasarkan pada perpaduan kepentingan ritual keagamaan Islam dan ekonomi kewirausahaan.

Kata Kunci: ruang komunal, sosio-kultural, multi-etnis, Gresik

Full Paper disini

2.  KONSEP PERANCANGAN KAWASAN PASAR TRADISIONAL BADUNG SEBAGAI UPAYA MEMPERKUAT KARAKTER KAWASAN JL. GAJAH MADA-DENPASAR ( Gede Windu Laskara dan Bramana Ajasmara Putra )

ABSTRAK

Pengembangan kembali Pasar Badung pasca kebakaran tahun 2016 menjadi penting mengingat fungsi Pasar Badung sebagai simpul kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya di Kota Denpasar. Karakter sebuah kota akan tampak dari kosmologi kota dan arsitekturnya, dan pasar tradisional Badung sebagai elemen penting kota akan  menjadi pembentuk sekaligus ikatan memori terhadap kota Denpasar. Merespon hal tersebut, pemerintah Kota Denpasar menyelenggarakan sayembara rancang masterplan Kawasan Pasar Badung, dengan salah satu tujuannya untuk menghasilkan konsep rancangan kawasan pasar tradisional yang dapat bersinergi sekaligus memperkuat karakter kawasan Jl. Gajah Mada. Hal tersebut dapat dicapai dengan 1) bersinergi aktivitas sekitar; 2) kemudahan pencapaian 3) prioritas pejalan kaki, 4) harmoni struktur urban 5) pengalaman ruang dan interaksi sosial. Konsep rancangan tersebut dihasilkan dengan metode pendekatan pada isu perancangan kemudian dijabarkan menjadi tujuan dan kriteria perancangan pasar tradisional dalam aspek arsitektur kota dan aspek penguatan karakter lokal. Tulisan ini memaparkan konsep yang diusulkan penulis sebagai peserta sekaligus nominator sayembara, dalam menjawab tujuan sayembara tersebut. Dengan penekanan pada karakter, maka pembahasan pada aspek fungsional pasar tradisional tidak dipaparkan.

Kata Kunci: karakter, kawasan, perancangan, pasar, tradisional.

Full Paper disini

3.  PLACE ATTACHMENT PADA JALUR PEDESTRIAN DI JALAN IJEN, MALANG SEBAGAI RUANG TERBUKA PUBLIK ( Wulan Astrini dan Eddi Basuki Kurniawan )

ABSTRAK

Saat ini di kota-kota besar Indonesia gencar menghadirkan ruang terbuka publik. Kota Malang merupakan salah satu kota besar di Jawa Timur yang saat ini sedang berkembang pesat dalam pengolahan ruang terbuka publiknya. Salah satu ruang terbuka publik di kota Malang yaitu jalur pedestrian di Jalan Ijen, dimana saat ini ruang tersebut memfasilitasi kebutuhan ruang bersosialisasi dengan menyediakan bangku-bangku di beberapa lokasi. Bangunan-bangunan yang ada di sepanjang Jalan Ijen didominasi oleh rumah tinggal bergaya kolonial Belanda serta beberapa landmark kawasan yaitu Monumen Hamid Rusdi, Gereja Ijen, Museum Brawijaya, Monumen Melati, dan rumah dinas Walikota Malang. Para pengguna jalur pedestrian di jalan Ijen utamanya beraktivitas di ruang terbuka publik jalur pedestrian Jalan Ijen, Malang seminggu sekali dan aktivitas terbanyak yaitu duduk-dukuk, baik remaja maupun dewasa. Kecenderungan preferensi itu dapat dipengaruhi oleh kelekatan psikologis seseorang terhadap suatu tempat atau lingkungan huniannya (place attachment). Studi ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ikatan batin atau kelekatan (place attachment) pengguna terhadap jalur pedestrian di Jalan Ijen, Malang. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis faktor dan diperoleh 3 faktor yang mempengaruhi place attachment di jalur pedestrian Jalan Ijen, yaitu (1). Faktor identitas/citra kawasan, (2). Faktor kesesuaian aktivitas dan ruang terbuka publik, serta (3). Faktor keunikan tempat.

Kata Kunci: place attachment, jalur pedestrian, aktivitas

Full Paper disini

4.  Kearifan Pejabat, Pengembang, Perencana, Perancang, dan Supervisi Dalam Etika Lingkungan Hidup ( JM. Joko Priyono Santoso )

ABSTRAK

Atas nama kearifan,  pembangunan harus terus dilakukan meskipun terpaksa memperseterukan nilai-nilai lokal (kearifan tradisional) terhadap kepetingan lain. Upaya win-win solution  pernahkan terpenuhi  dan apakah kawasan elit Bukit Sari Gombel Semarang, Puncak Bogor, Bandung atas, kawasan yang baru dibuka di wilayah Cibubur, Cilengsi dan wilayah lain (Reklamasi) menjanjikan kearifan. Adakah kearifan lokal melekat dalam perencanaan dan perancangan kawasan tersebut. Kearifan pejabat tersirat demi pembangunan dan kesejahteraan rakyat, kearifan pengembang tersirat demi pergerakan ekonomi dan membantu kesejahteraan rakyat, kearifan perencana dan perancang memberikan yang terbaik sesuai keinginan pengembang dan kebutuhan rakyat. Kolaborasi arif pejabat negara, pengembang termasuk perencana dan perancang menghasilkan keadaan yang bisa dirasakan sekarang ini, meskipun semua proyek harus lolos/lulus dokumen lingkungan sebelum mendapatkan ijin bangunan. Ke arah manakah kolaborasi yang telah berlangsung dan akan dilanjutkan. Kearifan lokal hadir karena proses turun-temurun sebagai penghargaan terhadap kearifan alam tidak harus menjadi harga mati selama etika lingkungan dipahami, karena bencana bukan hanya banjir, kemacetan atau timbunan sampah tetapi termasuk krisis enerji, perubahan perilaku sampai kepada krisis moral dan kecemburuan sosial. Arsitektur Sunda, Bali, dan bagian Indonesia lainnya memiliki tradisi yang membawa kesadaran warga yang paling tinggi terhadap lingkungannya, demi keselamatan dan kesejahteraan  manusia. Kearifan lokal demikian inilah yang harus disuntikan dalam pembangunan untuk menjadikan hasil perencanaan dan perancangan yang lebih arif dan lebih beretika. Sehingga nilai keluhuran, kerochanian, solidaritas selalu ada dalam setiap tahapan pembangunan. Keluhuran terhadap lingkungan akan menghasilkan pembangunan yang ramah lingkungan, hubungan atau kontak sosial terbentuk karena melibatkan nilai sosial dalam pembangunan lingkungan. Moral dan kerochanian akan tercermin bagi pelaku pembangunan dan akhirnya mampu mewariskan/melekatkan nilai sosial budaya dalam pembangunan tersebut.

Kata kunci ; Kearifan, pelaku pembangunan, arsitektur tradisonal, etika lingkungan, etika pembangunan.

Full Paper disini

5. KEARIFAN LOKAL DAN IDENTITAS KOTA BARU ( Franky Liauw )

ABSTRAK

Bangsa Indonesia berasal dari benua Asia. Temuan-temuan arkeolog membuktikan manusia pertama berasal dari benua Afrika. Pelacakan dengan teknologi DNA menunjukkan hubungan keturunan manusia antarbenua. Melalui proses dan waktu yang panjang, mungkin berdasarkan kesamaan-kesamaan dalam berbagai hal, lahirlah suku bangsa-suku bangsa unik dengan nama masing-masing, misalnya suku Batak, Sunda, Bali, Jawa, dan sebagainya. Masing-masing memiliki lokasi tertentu, dengan kondisi khas, serta budaya unik komunitas tersebut, terciptalah kearifan lokal, yang membentuk identitas suku tersebut. Dalam bidang arsitektur terwujud salah satunya berupa bangunan tradisional. Identitas komunitas ini dianggap mewakili semua individu dalam kelompok tersebut. Ketika dulu, kesamaan dalam komunitas sangat kuat, bahkan cenderung homogen, mungkin mudah untuk menentukan identitas bersama. Penentuan identitas dari gabungan banyak suku akan menemui banyak kesulitan. Globalisasi yang membuat penduduk di suatu tempat cenderung heterogen, menambah berat permasalahan. Apakah kearifan lokal dari penduduk “asal” yang lebih dulu ada di suatu tempat dapat dijadikan patokan, dan penduduk yang datang kemudian harus mengikutinya, atau selalu terjadi interaksi dan perubahan serta pembentukan kearifan lokal yang bersifat dinamis? Pada kasus perencanaan kota baru, akan sulit menentukan siapa yang lebih dulu dan siapa yang belakangan hadir di lokasi tersebut. Penentuan kearifan lokal dan identitas membutuhkan kriteria keterwakilan dan kesepakatan semua pihak.

Kata Kunci: kearifan lokal, identitas, homogen, heterogen, kota baru

Full Paper disini

6. EKOWISATA PADA CULTURAL LANDSCAPE SUBAK SEBAGAI IDENTITAS KOTA DENPASAR Sebuah Upaya Penggalian Potensi Ekowisata di Subak Sembung Kecamatan Denpasar Utara ( I Gusti Agung Bagus Suryada, I Nyoman Widya Paramadhyaksa )

ABSTRAK

Lahan subak di Kota Denpasar sebagian telah mengalami alih fungsi lahan meskipun telah ditetapkan sebagai Ruang Terbuka Hijau oleh Pemerintah Kota Denpasar. Subak Sembung adalah salah satu subak yang masih lestari, dan saat ini sedang dikembangkan ekowisata. Beberapa fasilitas ekowisata sudah terwujud dan beberapa kegiatan sudah berlangsung, serta sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum dan pelaku kegiatan, tetapi baru sebagian kecil anggota subak yang merasakan manfaat kegiatan ekowisata terebut. Potensi pengembangan ekowisata perlu digali secara komprehensif sehingga dapat meningkatkan manfaat bagi anggota subak dan dapat menjadi identitas kota. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: (1) Metode pengumpulan data adalah dengan metode studi pustaka, wawancara, dan observasi lapangan; (2) Metode analisa data adalah dengan metode deskriptif komparatif. Potensi wisata yang dapat dikembangkan di Subak Sembung adalah: tracking (jalan kaki, bersepeda), festival, pelatihan, wisata agro, dan ekoliterasi. Permasalahan umum yang dihadapi adalah terletak pada belum adanya pengelolaan yang baik, dan jaminan kontinuitas kunjungan.  Potensi wisata yang paling potensial dan mendesak dikembangkan adalah ekoliterasi untuk pelajar.

Kata kunci: identifikasi, potensi, ekowisata, Subak Sembung.

Full Paper disini

7.  PENGEMBANGAN WISATA SEJARAH SEBAGAI PENGUATAN IDENTITAS KAWASAN KABUPATEN PULAU MOROTAI ( Yudha Pracastino Heston, Yonanda Rayi Ayuningtyas, dan Rivaldo Okono )

ABSTRAK

Kabupaten Pulau Morotai sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, memiliki kondisi geografis yang berpotensi sebagai kawasan wisata bahari dan juga memiliki nilai sejarah yang berpotensi sebagai kawasan wisata sejarah. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab bagaimana rumusan konsep penguatan identitas Kabupaten Pulau Morotai dengan terlebih melihat pada potensi kekuatan wisata sejarah. Penelitian ini dilakukan dengan meninjau potensi pengembangan wisata sejarah dengan metode deskriptif dan pendekatan kualitatif. Analisis pembahasan dilakukan dengan membahas aspek pengembangan pariwisata di Kabupaten Pulau Morotai, kemudian melihat potensi pengembangan dan merumuskan rencana aksi pengembangan dengan menggunakan framework elemen pembentuk citra kawasan. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa pengembangan wisata sejarah dapat sejalan dengan penguatan identitas Kabupaten Pulau Morotai sebagai destinasi wisata yang memiliki nilai sejarah Perang Dunia ke II.

Kata Kunci: pariwisata, sejarah, identitas, Morotai-Indonesia

Full Paper disini

8. PERMUKIMAN BALI KUNO DESA BAYUNG GEDE SEBAGAI ATRAKSI PARIWISATA DI BALI ( Syamsul Alam Paturusi )

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan untuk menentukan strategi perencanaan bagi permukiman Desa Bayung Gede, Bangli sebagai daya tarik wisata.  Desa ini sudah ditetapkan sebagai salah satu Desa Wisata di Kabupaten Bangli sejak tahun 2006, namun hingga saat ini tidak ada tanda tanda yang mengarah ke tujuan tersebut.  Arsitektur khas pada permukiman desa bali kuno yang sangat berbeda dengan arsitektur bali daratan,  saat ini menjurus ke arah pemudaran.  Transformasi arsitektur ke langgam arsitektur modern melanda permukiman ini secara masif. Hilangnya identitas lokal ini selain menghilangkan mata rantai sejarah arsitektur di Bali, juga dapat menggagalkan rencana menjadikan desa ini sebagai Desa Wisata.  Penelitian ini dilakukan selama enam bulan di Desa Bayung Gede,  dengan pendekatan metode kualitatif, data dikumpulkan melalui obervasi, wawancara dengan kepala desa, tokoh adat dan masyarakat.  Hasilnya kemudian dianalisis secara SWOTH untuk memperoleh strategi perencanaan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa desa ini memiliki potensi wisata seperti: tradisi unik menggantung ari-ari bayi pada pohon, hutan pohon bambu yang luas, tarian bali kuno  dan pola desa yang unik.  Permasalahan yang dihadapi antara lain: tidak adanya sumber air bersih, belum adanya program Desa Wisata,  pariwisata bukan skala prioritas, belum adanya kelompok sadar wisata.  Untuk itu kedepan diperlukan adanya beberapa strategi yang merupakan kombinasi dari berbagai unsur kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.

Kata kunci: Desa Bayung Gede, Desa wisata, strategi perencanaan.

Full Paper disini

9. PERANCANGAN KAWASAN KEDUNGU RESORT SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN YANG BERKELANJUTAN DI KABUPATEN TABANAN ( Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, I Wayan Yogik Adnyana Putra, Marthin Gunardhy )

ABSTRAK

Pembangunan perekonomian masyarakat melalui pelestarian sektor pertanian mulai menurun, dilihat dari aspek ketersediaan lahan pertanian dan antusias masyarakat untuk terjun langsung menjadi petani. Terlebih lagi yang terjadi di Kota Tabanan yang merupakan ikon lumbung padi di Bali. Merespon hal tersebut, Pak Effendi Tjoeng, Pak Boedi Krisnawan selaku Owner dan seluruh tim dari Kedungu Resort, merancang masterplan Kawasan Kedungu dengan salah satu tujuannya untuk menghasilkan ide rancangan kawasan yang tetap berpedoman pada kearifan budaya lokal, khususnya menjaga dan merawat pertanian yang berada dalam kawasan perencanaan Kedungu Resort. Serta mengemas pertanian sebagai tuan rumah yang membanggakan petani dan putra-putrinya. Tulisan ini memaparkan konsep yang diusulkan penulis sebagai perancang dalam perencanaan kawasan Kedungu Resort sebagai upaya pembangunan sektor pertanian yang berkelanjutan di Kabupaten Tabanan. Untuk menghasilkan konsep rancangan yang tepat sasaran Kedungu Resort berkomitmen berbasis kepada Konstruksi Berkelanjutan yang berkonsep “triple bottom line” yang menegaskan bahwa kemajuan berkelanjutan dan jangka panjang memerlukan pembangunan ekonomi, kemajuan sosial dan kinerja lingkungan yang seimbang.

Kata Kunci: kawasan, perancangan, berkelanjutan.

Full Paper disini

10. MATERIALISASI RUANG PUBLIK DAN PEMBANGUNAN PARIWISATA BUDAYA ( I Ketut Mudra )

ABSTRAK

Pariwisata budaya adalah landasan pokok pengembangan kepariwisataan Bali. Secara normatif tradisi dan budaya kemudian diperlakukan sebagai atraksi wisata yang menarik, serta berpotensi menghasilkan keuntungan ekonomi. Akan tetapi, pariwisata juga memiliki kontribusi yang tidak diharapkan dan seringkali terabaikan. Ini mengandung nilai kebenaran, ketika industri pariwisata dibangun melalui sistem regulasi yang hanya berfokus kepada keuntungan material dengan melayani kepentingan para investor dan kekuatan kapitalis, namun melalaikan pendekatan yang berpihak ke publik, komprehensif, dan berkelanjutan. Kenyataan inilah yang dijadikan konteks studi, dengan menempatkan kawasan pesisir sebagai bagian dari ruang publik yang mengalami beragam praktek materialisasi. Tulisan ini dengan seksama akan mengkaji konflik kepentingan dalam pemanfaatan kawasan pesisir di Bali, khususnya yang memiliki peran strategis dalam mengakomodasi kegiatan kepariwisataan. Kajian dibagi menjadi tiga bagian yaitu : (1) mendiskusikan kompleksitas kawasan pesisir dan signifikansinya; (2) membahas konflik kepentingan yang terlibat dalam pemanfaatan kawasan pesisir; dan (3) mengkaji konsekuensi yang diakibatkan oleh kondisi ini terhadap pembangunan pariwisata budaya di Bali. Temuan kajiannya adalah rekomendasi untuk memediasi konflik kepentingan dalam pemanfaatan kawasan pesisir di Bali. Hal ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mendukung kebijakan keruangan daerah dan pembangunan pariwisata secara berkelanjutan.    

Kata Kunci: materialisasi ruang publik, pariwisata budaya, konflik kepentingan, kawasan pesisir, keruangan daerah

Full Paper disini

11. UPAYA MENGELEMINIR DAMPAK INVESTASI TERHADAP LINGKUNGAN DAN TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BADUNG ( Putu Rumawan Salain )

ABSTRAK

Alam dan lingkungan Bali yang indah adalah sebuah berkah dari Nya, kini menjadi masalah ketika jumlah penduduk dan yang berkunjung ke Bali kian meningkat, dampaknya adalah adanya pengalihan fungsi dan kepemilikan lahan untuk memenuhi beragam kepentingan dari penduduk. Meningkatnya kunjungan Pariwisata Nusantara dan Manca Negara ke Bali, mampu meningkatkan pendapatan yang sangat signifikan. Bahkan oleh karenanya Kabupaten Badung bagaikan sinterklas membagikan PHR nya ke kabupaten dan kota se Bali. Demikian tingginya penghasilan di sektor pariwisata berakibat semakin tergiurnya para investor untuk berinvestasi ke wilayah Badung. Gencarnya pemerintah untuk menarik devisa dari pariwisata, atau tingginya minat investor untuk berinvestasi menyebabkan Badung harus bekerja keras antara meningkatkan pendapatan asli daerah yang diperoleh dibandingkan dengan degradasi lingkungan dan tata ruang disisi lainnya. Harus ada terobosan cerdik untuk melindungi Lingkungan dan Tata Ruang Wilayah kabupaten Badung yang berkelanjutan. Bukankah sinergi antara lingkungan-sosial budaya-ekonomi merupakan tiga dimensi untuk pembangunan berkelanjutan?

Kata Kunci: investasi, lingkungan, tata ruang.

Full Paper disini

12. PERMASALAHAN KERUANGAN DALAM PERENCANAAN PASAR SENI DESA PAKRAMAN KUTRI, DESA SINGAPADU TENGAH, GIANYAR ( I Nyoman Widya Paramadhyaksa, I Made Suarya, dan Ida Ayu Armeli )

ABSTRAK

Desa Singapadu Tengah adalah satu desa bercorak tradisional yang berada dalam wilayah Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Desa ini telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar sebagai sebuah desa wisata baru yang mengoptimalkan pemanfaatan potensi wisata alam dan budaya yang ada. Ada beberapa objek wisata baru yang direncanakan dibangun berkenaan dengan rencana itu, salah satunya adalah rencana pembangunan pasar seni desa wisata yang diplot dapat mulai dilakukan dalam tahun 2017 ini. Pasar ini berlokasi di wilayah Desa Pakraman Kutri, di atas sebidang lahan yang saat ini masih dijadikan lokasi bangunan taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Pasar Seni Desa Pakraman Kutri ini sedianya akan difungsikan sebagai wadah kegiatan promosi, jual beli, dan transaksi jasa wisata produk lokal Desa Singapadu Tengah. Tapak juga akan ditata sebagai area parkir dan pasar malam yang dipastikan dapat membantu pertumbuhan ekonomi, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, dan pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat. Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran segala permasalahan keruangan yang berpeluang terjadi dalam proses pradesain bangunan pasar seni ini. Data penelitian dikumpulkan melalui metode observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Pada bagian akhir tulisan ini dipaparkan juga beberapa gambaran solusi pemecahannya berupa konsep perancangan bangunannya.

Kata Kunci: pasar seni, desa wisata, Singapadu Tengah, ekonomi kerakyatan

Full Paper disini

13.  KONSEP TATA KELOLA HOMESTAY DI DESA WISATA PINGE KABUPATEN TABANAN ( Ni Putu Atik Pranya Dewi, I Nyoman Widya Paramadhyaksa, Tri Anggraini Prajnawrdhi )

ABSTRAK

Desa wisata merupakan salah satu model wisata alternatif yang sedang digalakkan di Bali baik dari pihak pemeritah maupun masyarakat lokal. Ada beberapa desa yang sudah berhasil dikembangkan menjadi desa wisata pionir di Bali, seperti Desa Ubud (Gianyar), Desa Penglipuran (Bangli), dan Desa Tenganan Pegringsingan (Karangasem). Keberhasilan pengembangan desa-desa wisata tersebut agaknya menjadi contoh bagi pengembangan desa wisata lain di Bali, yang dicanangkan akan berjumlah 100 buah desa pada tahun 2018 ini (Yuniartha Putra, 2016). Di Kabupaten Tabanan, desa wisata yang sedang berkembang adalah Desa Wisata Pinge. Dalam pemenuhan fasilitas akomodsi pariwisata, homestay adalah salah satu solusi yang disiapkan oleh masyarakat lokal. Harga terjangkau dan karakter hunian yang masih kental dengan arsitektur lokal sebagai salah satu potensi desa wisata. Homestay yang terletak di desa wisata pinge tidak hanya menawarkan kebersihan dan kenyaman bagi para pengunjung, masyarakat pinge juga memberikan rasa kebersamaan dan kekeluargaan selama pengunjung tinggal di desa mereka. Tujuan penelitian adalah mengkaji konsep penataan akomodasi homestay yang diterapkan di Desa Wisata Pinge. Kajian yang dipergunakan yang adalah kajian fenomenologi dengan analisa deskriptif kualitatif.

Kata kunci: konsep penataan homestay, desa wisata

Full Paper disini

14. KAJIAN KAWASAN NELAYAN DI PANTAI KUTA ( I Gusti Ngurah Anom Rajendra )

ABSTRAK

Riset ini mengkaji eksistensi kawasan nelayan di wilayah pesisir pantai Kuta, dimana pantai ini merupakan kawasan wisata yang terkenal dan terpadat di pulau Bali. Kajian ini lebih terfokus pada aspek-aspek keruangan/spasial (tangible aspects) ketimbang aspek-aspek lain. Kendati ada data yang sangat menarik bahwa perkembangan jumlah nelayan di wilayah ini nampak stabil, sebaliknya di tempat lain jumlah nelayan telah mengalami penyusutan yang drastis. Dengan demikian, tujuan utama dari  penelitian ini adalah (1) untuk memahami persoalan dan  permasalahan yang dihadapi kelompok nelayan terhadap kawasannya di pantai Kuta dalam kaitannya dengan kehidupan mereka, dan (2) membuat strategi pengelolaan kawasan nelayan yang lebih bersinergi. Pendekatan penelitian dilakukan dengan metode kualitatif sedangkan pengkoleksian data dilakukan melalui pengamatan lapangan dan wawancara. Melalui data empiris ini, analisis dilakukan dengan menggunakan analisa deskriptif dan SWOT. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukkan yang penting bagi pemangku kepentingan yang terlibat dalam perencanaan dan pengelolaan pantai-pantai wisata dan nelayan di pantai Kuta atau di tempat/pulau lain.

Kata Kunci: kawasan nelayan, pantai Kuta

Full Paper disini

15. IDENTIFIKASI AREA CATUS PATHA SEBAGAI PLACE BRANDING WISATA KOTA DI KOTA DENPASAR ( Kadek Agus Surya Darma )

ABSTRAK

Keberadaan sebuah brand yang telah melekat pada suatu tempat, dirasakan dapat memberikan makna yang istimewa bagi area bersangkutan bahkan sekitarnya. Sebagai penguat identitas,dan citra positif dapat dikatakan bahwa brand layaknya sebuah aset yang sanggup meningkatkan popularitas suatu tempat yang menyandangnya. Area Catus Patha di Kota Denpasar sebagai elemen pengendali sirkulasi transportasi horisontal, yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal, akhir- akhir ini makin menarik perhatian para pengunjung maupun pengguna jalan dalam kaitannya dengan aktifitas kunjungan dan atraksi wisata di dalam kota. Keberadaan Catus Patha saat ini seolah-olah mengalami peningkatan fungsi dan estetika menjadi suatu area spot yang patut dituju dan sebagai destinasi baru bagi wisata kota yang wajib dikunjungi dan menjadi area tujuan wisata dalam Kota Denpasar karena keistimewaannya. Oleh karenanya akan dipaparkan suatu identifikasi tentang desain rancangan ruang luar yang memiliki identitas nilai-nilai kearifan lokal dan bagaimana penerapannya secara konsisten sehingga menjadikan Area Catus Patha sebagai place branding dan destinasi baru suatu atraksi wisata di Kota Denpasar.

Kata Kunci: prinsip desain, place branding, atraksi wisata, catus patha, identitas lokal

Full Paper disini

16. MAKNA DAN KARAKTERISTIK RUANG BERMAIN ANAK DI BANTARAN SUNGAI CODE Studi Kasus: Kelurahan Cokrodiningratan, Jetis, Yogyakarta ( Ni Luh Putu Eka Pebriyanti )

ABSTRAK

Hakikat teori “Place” tentang desain spasial menurut Roger Trancik dalam Zahnd (2006) adalah  terletak pada pemahaman budaya dan karakteristik manusia terhadap tempatnya serta memperhatikan makna sebuah kawasan sebagai sebuah tempat perkotaan secara arsitektural. Manusia dalam mengembangkan kehidupan dan budayanya, tidak hanya sekedar sebagai “space” tetapi lebih dirasakan sebagai “place”. Sungai Code menjadi begitu istimewa bagi masyarakat Yogjakarta karena sungai ini terletak di tengah kota. Jadi Sungai Code memiliki aksesibilitas dari semua sudut Kota Yogyakarta. Sungai ini mengalir melalui daerah berkepadatan tinggi dan daerah aliran sungainya yang berteras-teras menjadi tempat bermukim sejumlah besar masyarakat spontan. Air adalah elemen penting dan kemudahan akses dari seluruh penjuru kota, menjadikan Code didatangi oleh kaum marginal. Berangkat dari komunitas awal Code inilah yang membuat image kumuh dan miskin melekat pada kawasan Code. Pemukiman yang ada di Code saat ini, dulu bermula dari pemukiman liar. Selama ini, kita mengenal Romo Mangun sebagai sosok yang telah menata pemukiman bantaran Sungai Code di dekat jembatan Gondolayu, Gowongan. Sedangkan pemukiman yang terletak di kelurahan Cokrodiningratan belum banyak diperhatikan penataannya.  Ruang bermain anak di pemukiman yang padat tersebut menjadi hal penting untuk diperhatikan mengingat ruang yang tersedia mulai berkurang. Aktivitas sehari-hari penduduk Code di fasilitas-fasilitas umum yang cenderung dekat dan masih berorientasi ke arah sungai juga mempengaruhi pola bermain anak-anak di tempat tersebut. Penelitian bertujuan untuk menggali dan memperoleh pemikiran-pemikiran maupun konsepsi-konsepsi lokal mengenai ruang–ruang bermain anak di sekitar Sungai Code. Jalan penelitian dimulai dengan turun ke lapangan, pengambilan kasus, temuan tema-tema dan akhirnya menemukan konsepsi. Hasil penelitian ini akan memberikan input untuk proses revitalisasi bantaran Sungai Code di Kelurahan Cokrodiningratan termasuk ruang bermain anak.

Kata Kunci: makna dan karakteristik, ruang bermain anak, konsepsi lokal

Full Paper disini

17. PEMANFAATAN LANSEKAP SEBAGAI IDENTITAS KOTA DALAM PERSPEKTIF CITY BRANDING ( Subhan Ramdlani )

ABSTRAK

Peningkatan aktifitas kota menjadikan ruang perkotaan (urban spaces) rawan terhadap perubahan kualitas lingkungan kota, baik secara ekologi, visual maupun dalam pemanfaatan ruang kota, yang berimplikasi pada pengkaburan identitas kota (Amar, 2009). Salah satu upaya yang diharapkan untuk pemulihan kualitas lingkungan kota adalah pemanfaatan lansekap perkotaan melalui identifikasi karakter lansekap dan identitas kolektif masyarakat kota. Kombinasi antara aspek lansekap dan masyakat ini dapat menghasilkan identitas lansekap yang berbeda di tiap kota. Melalui kedua pedekatan tersebut, lansekap kota berpotensi untuk menjadikan identitas kota. Metode pemanfaatan lansekap kota sebagai identitas kota dimulai dengan mengidentifikasi karakter lansekap, memahami karakter warga kota dalam membentuk Identitas lansekap  (Ramos, 2015). Lansekap beridentitas inilah yang berimplikasi pada kebijakan kota bahkan dalam “City Branding” (Riza, 2012). Dengan membandingkan beberapa kasus pemanfaatan lansekap kota sebagai Identitas kota di Surabaya dan Malang, artikel ini mencoba merumuskan kriteria pemanfaatan lansekap kota dalam menemukan identitas kota.

Kata Kunci: Identitas lansekap, Identitas Kota, City Branding

Full Paper disini

18. AKTIVITAS MASYARAKAT SEBAGAI PEMBENTUK IDENTITAS RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) BERKUALITAS DI KOTA MALANG ( Lisa Dwi Wulandari, Subhan Ramdlani )

ABSTRAK

RTH Kota Malang terklasifikasi menjadi sembilan jenis RTH (Dinas Pertamanan Kota Malang, 2007) meliputi Jalur hijau tepian jalan, taman monumen, taman makam, taman rotonde, taman pusat kota, taman bermain anak, taman perkantoran, hutan kota, serta taman rekreasi dan olahraga. Masing-masing RTH memiliki karakter dan peran yang berbeda terhadap kinerja Kota Malang, terkait identitas lokalnya. Identitas yang biasanya terbentuk dari setting lingkungan fisik (bentuk, rupa dan dimensi secara kuantitas), pada studi ini dikaji dari kualitas (fungsi) RTH. Secara kualitas, aktivitas manusia menjadi faktor penting untuk menentukan intensitas pemanfaatan RTH kota, serta seberapa penting dan dibutuhkannya jenis RTH tersebut. Berdasarkan figure ground theory bisa diketahui proporsi solid-void space, yang terkait dengan zona aktif-pasif dari RTH sampel. Pendekatan place centered mapping membantu memetakan aktivitas masyarakat pengguna RTH dari beragam jenis pelaku dan dimensi waktu yang berbeda. Pola yang terbentuk dari aktivitas masyarakat yang menerus pada proses diatas menjadi parameter untuk menguatkan identitas RTH Kota Malang berdasarkan nilai lokalitas masyarakat. Semakin kuatnya identitas RTH yang tercermin dari perannya yang makin besar terhadap kinerja Kota Malang, akan menjadi prioritas utama dalam rencana penataan RTH ideal Kota Malang di masa mendatang.

Kata Kunci: identitas RTH, fungsi, kualitas, aktivitas manusia

Full Paper disini

19.  MODEL PENGEMBANGAN KRITERIA DESAIN RUSUNAWA BERDASARKAN KEPUASAN PENGHUNI – Studi Kasus Rumah Susun Sederhana Sewa Kuto Bedah di Malang ( Edi Subagijo dan Tonny Suhartono )

ABSTRAK

Pembangunan rumah susun di kota-kota besar merupakan konsekuensi logis dalam mengantisipasi perkembangan kotanya, terutama di kawasan permukiman kumuh. Cepat atau lambat pembangunan rusunawa akan  dilaksanakan terutama di kota-kota besar yang berkepadatan tinggi. Walaupun mereka nantinya bertempat di rusun, keguyuban masyarakat di perkampungan harus dipertahankan. Kebersa­ma­an penghuni rusunawa merasa lebih puas  bertempat tinggal di dalamnya. Untuk menunjang program tersebut perlu dicari model pengembangan  kriteria desain, terutama dari aspek kepuasan penghuni dalam  berinteraksi sosial. Hasil-hasil studi memperkuat pernyataan bahwa manusia dan lingkungannya dihubungkan  congruence, dalam beraktivitas manusia  mempunyai pilihan-pilihan  sebagai alternatip perilaku  di  dalam ling­kungan­nya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dan kualitatif berdasarkan sikap kepuasan  penghuni dan pengamatan pola perilaku berinteraksi sosial. Berdasar studi tersebut disusun panduan kriteria desain  untuk mendapatkan konsep rancangan yang terbaik guna memberikan rasa puas bagi penghuninya. Bahasan ini menunjukkan bagaimana pola perilaku di ruang publik (selasar, Dapur dan KM/WC umum) yang dikehendaki penghuni dalam berinteraksi sosial dengan mengambil kasus rusunawa Kutobedah pertama kali yang dibangun oleh pemerintah  Kota Malang pada tahun 1995.

Kata Kunci: rusunawa, kepuasan, pola perilaku

Full Paper disini