Sub Tema 3

Sub Tema 3.     Eksplorasi Arsitektur Warisan dan Budaya

1.  KAMPUNG ADAT DERI KAMBAJAWA DI KABUPATEN SUMBA TENGAH SEBAGAI LIVING MUSEUM ( Titien Saraswati, Maria Adrianus Rambu Day)

ABSTRAK

Kampung adat Deri Kambajawa terletak di Desa Umbu Pabal, Kecamatan Umbu Ratu Nggay Barat, Kabupaten Sumba Tengah, sekitar delapan kilometer dari kota Waibakul. Di kampung adat ini penduduknya masih menganut kepercayaan Marapu yang kuat, sehingga kampung adat ini sering dijuluki sebagai kampung para Rato (Raja). Kampung adat ini sebenarnya terdiri dari dua kampung adat, yaitu kampung adat Deri dan kampung adat Kambajawa. Rumah-rumah adat dan aktivitas kehidupan masyarakat tradisional Sumba Tengah masih terjaga keasliannya di situ. Penduduk kampung adat ini tidak menutup diri terhadap kunjungan orang luar, sepanjang tidak mengganggu keaslian atau mempengaruhi kehidupannya. Sehingga kampung adat Deri Kambajawa ini, menurut penulis, layak disebut sebagai museum hidup atau living museum. Pertanyaannya: bagaimana rumah dan kampung adat di situ beserta kegiatannya berperan sebagai living museum? Tujuan penulisan ialah mengeksplorasi rumah dan kampung adat beserta kegiatannya yang merepresentasikan living museum. Metode mencari data dengan survei langsung ke kampung adat Deri Kambajawa serta ke instansi yang relevan. Metode menganalisis data dengan mengeksplorasi berbagai hal yang berkaitan dengan fisik rumah dan kampung adat beserta kegiatannya. Kesimpulannya, representasi living museum dari keseluruhan kehidupan kampung adat amat banyak, seperti tertulis di dalam makalah ini.

Kata Kunci: kampung adat, rumah adat, living museum.

Full Paper disini

2.   REINTERPRETASI PRINSIP RUANG BERSAMA  TANEAN LANJANG MADURA PADA PUSAT KOMUNITAS SENI TARI TOPENG MALANG ( Dionisius Dino Briananto, Tito Haripradianto, Abraham M. Ridjal )

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan unsur keterkaitan prinsip ruang bersama masyarakat tradisional Madura sebagai produk budaya dengan prinsip ruang bersamanya, yang dipakai pada ruang kesenian tari tradisional topeng malangan.Belakangan ini, tinjauan mengenai unsur keterkaitan universalitas dan lokalitas nusantara dalam aspek perancangan arsitektur tidak banyak digunakan.Menemukan keterkaitannya dapat membantu secara keilmuan untuk memahami nilai budaya yang disampaikan masyarakat tradisional nusantara dalam menanggapi perubahan zaman dan konteks kekinian. Arsitektur dan ruang bersama seringkali dianggap hal yang tabu jika tidak memahami hal-hal apa yang berkaitan dengan potensi lokalitas dan konteks hubungan keterkaitannya dengan potensi lokal di tempat lain. Fokus kajian pada ruang bersama dilakukan karena potensi utama arsitektur nusantara bertolak punggung pada nilai kebersamaan.Hal ini menyebabkan nilai-nilai universal dalam perancangan bangunan tidak dapat dimaknai oleh penghuninya, padahal ruang nusantara selalu bertumpu pada aspek pesan, makna dan nilai imateri yang terkandung pada tiap-tiap bangunan.Miskonsepsi perancang yang terburu-buru menyebabkan inti dari kebudayaan yaitu nilai kehidupan berangsur menghilang, yang selalu ditonjolkan hanya aspek kecantikan, bentuk ikonik, dan faktor materi saja.Dalam hal ini arsitektur berperan untuk memberi solusi atas permasalahan tersebut dengan cara menghadirkan ruang, bukan menciptakan ruang untuk tetap berpegang pada ketunggal-majemukan nusantara untuk menjaga keseimbangan kehidupan manusia dengan alamnya. Nyatanya, tipologi Tanean Lanjang Madura dan masyarakat di Sanggar Asmorobangun Malangmemiliki keterkaitan aspek kesemestaan satu sama lain, yang semestinya ditelah kembali untuk menuju masa depan perancangan baru yang lebih baik. Oleh karena itu, penelitian ini berguna untuk mengkaji ruang bersama pada Tanean Lanjangyang sesuai konteksnya, untuk ditemukan kembali pada pusat komunitas seni tari topeng malang melalui aspek kesemestaan yang bermakna nilai kebersamaan.

Kata kunci: ruang bersama, reinterpretasi, tanean lanjang, tari topeng malang, pusat komunitas seni

Full Paper disini

3.  PERAGAMAN RUPA DAN RUPA INKLUSIF DALAM DESAIN WARISAN ARSITEKTUR ( Noviani Suryasari , Antariksa, dan Lisa Dwi Wulandari )

ABSTRAK

Desain arsitektur sepanjang era perkembangan arsitektur di nusantara menunjukkan adanya keragaman khasanah ekspresi, bentuk dan rupa yang dapat dilihat melalui warisan arsitektural lokal masa lalu baik yang bersumber dari budaya lokal asli nusantara maupun yang dipengaruhi oleh budaya luar. Kepentingan generasi saat ini dalam koteks situasi tersebut adalah dapat melakukan eksplorasi guna menggali keragaman warisan arsitektural sehingga dapat membantu meningkatkan kreativitas desain arsitektur saat ini menjadi lebih baik. Tulisan ini bermaksud untuk memberikan gambaran bahwa salah satu cara eksplorasi yang dapat dilakukan untuk menggali potensi warisan arsitektural adalah melalui proses identifikasi rupa inklusif sebagai suatu wujud benang merah atau persamaan tematik desain di balik keragaman rupanya. Rupa inklusif merupakan rupa yang mengandung nilai universal, diperoleh atau diketahui melalui menemukan persamaan di antara dan di balik perbedaan keragaman rupa yang ada. Pesan yang dapat diambil adalah bahwa memaknai perbedaan, memandang-melihat-mempelajari perbedaan dapat dilakukan secara positif untuk mendapatkan sisi atau nilai universal dari potensi persamaannya. Dengan menerapkan sisi universal tersebut dalam desain saat ini maka warisan arsitektural masa lalu tidak hanya dilestarikan (diberlanjutkan) secara fisik dalam rupa bangunan saja tetapi dapat mewujud dalam desain saat ini meskipun dalam rupa arsitektur yang berbeda.

Kata Kunci: rupa, peragaman, inklusif, warisan arsitektural

Full Paper disini

4. KOTA TERAPUNG MUARA MUNTAI  Studi Kasus: Pengembangan Kota Muara Muntai sebagai Kota Heritage ( Huda Nurjanti )

ABSTRAK

Kecamatan Muara Muntai terletak di Kabupaten Kutai Kertanegara Provinsi Kalimantan Timur. Ibukota kecamatan  ini terletak di tepi anak sungai Mahakam dan Danau Melintang (Kawasan Tiga Danau). Kotanya merupakan kota terapung yang terbangun dari kayu dan memiliki jalan kayu sepanjang total 12 km serta diklaim sebagai jalan kayu terpanjang di dunia. Muara Muntai yang dihuni pada sekitar abad 19 oleh antara lain suku bangsa Dayak, dan kemudian oleh Melayu, Bugis, Jawa dan Madura memiliki sejarah panjang di mana kota ini merupakan sebuah wilayah kecil yang mandiri di bawah Kerajaan Kutai Marta Ing Dipura. Kawasan ini berfungsi menjadi pos perbatasan wilayah sungai Mahakam Ulu dengan Mahakam Hilir. Muara Muntai termasuk dalam pengembangan kawasan strategis pariwisata nasional „Kawasan TIga Danau“. Pengembangan kawasan ini akan diarahkan menjadi kawasan green industry dengan pengembangan wisata berbasis alam, budaya dan sejarah. Kota Heritage Muara Muntai digagas sebagai upaya untuk mempertahankan keaslian kondisi kota. Penelitian awal dilakukan untuk menginventarisasi kota melalui survey awal dan wawancara penduduk lokal. Program pengembangan pariwisata kawasan sebagai kota heritage yang tepat akan membantu menjaga kondisi kota yang unik ini.

Kata Kunci: Muara Muntai, Kota Heritage, Kawasan Tiga Danau, Kota Terapung, Kutai

Full Paper disini

5. POLA TATA BANGUNAN DAN HUBUNGAN KEKERABATAN Dusun Kasim, Kabupaten Blitar ( Yurista Hardika Dinata, Wara Indira Rukmi, dan Antariksa )

ABSTRAK

Aktivitas manusia dalam suatu tempat yang dilakukan secara kontinu akan membentuk pola tertentu yang berimplikasi terhadap pola tatanan bangunan. Pola penataan bangunan di Dusun Kasim merupakan salah satu kekhasan lokal pola permukiman di nusantara. Susunan hunian tersebut terutama terkait dengan aktivitas budaya penghuni ruang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep dari setiap peletakan rumah dan elemen penyusunnya berdasarkan hubungan kekerabatan. Metode yang digunakan yaitu kualitatif, dengan teknik analisis family tree. Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat tiga tipe pola hunian yaitu: pola hunian berbentuk tangga kearah kiri-atas, pola sejajar 2 (dua) sisi, dan pola bangunan vertikal ke belakang. Ketiganya memiliki kesamaan yaitu letak rumah anak pertama yang selalu di kiri-depan rumah orang tua. Faktor yang mendasari pola tersebut yaitu hubungan antar anggota keluarga batih, asal usul leluhur, dan tata letak pekarangan. Konsep yang mendasari penataan tersebut adalah konsep pangkon. Suatu konsep kepercayaan masyarakat Jawa mengenai bentuk hubungan perlindungan orang tua terhadap anak yang mewujud dalam aktifitas keseharian masyarakat setempat.

Kata Kunci: pola, permukiman, kekerabatan

Full Paper disini

6. KAWASAN WISATA PERMUKIMAN BANTIK DI PESISIR PANTAI MALALAYANG BERBASIS CULTURAL HERITAGE ( Pingkan Peggy Egam, Arthur Harris Thambas )

ABSTRAK

Kawasan permukiman suku Bantik di pesisir pantai Malalayang merupakan kawasan strategis karena memiliki potensi alami dan memiliki kekayaan budaya. Kenyataan yang ada menunjukan bahwa eksistensi situs budaya yang menjadi potensi kawasan dalam aspek wisata ternyata terabaikan. Tujuan penelitian yaitu: Menganalisis konsep penataan kawasan wisata budaya permukiman masyarakat Bantik di pesisir pantai berbasis culture heritage. Metode penelitian yaitu kualitatif-deskripsi. Adapun prosedur pelaksanaan penelitian dilakukan dalam beberapa tahap yaitu: Pertama, mengidentifikasi karakteristik kawasan pesisir pantai dan permukiman dari aspek fisik; Kedua, menganalisis potensi kawasan pesisir pantai dalam pendekatan kekayaan situs budaya. Selanjutnya dilakukan analisis ruang kawasan pesisir pantai. Berdasarkan analisis diatas menyimpulkan bahwa: Konsep penataan kawasan wisata berbasis budaya Bantik di pesisisr pantai Malalayang sebagai berikut: 1) Konsep Kontinuitas antara fungsi permukiman dan fungsi wisata  dicapai melalui akses langsung berupa pedestrian di sepanjang pesisir pantai. 2) Identitas kawasan berbasis budaya tercipta dengan menggabungkan unsur elemen alami seperti kesatuan kawasan pesisir, dan elemen buatan seperti pedestrian dan elemen budaya seperti yaitu Batu Lrana dan Pohon Bulrang (pohon kuning). 3). Optimalisasi kawasan wisata berbasis budaya berada di sekitar Batu Lrana sebagai core ruang budaya selanjutnya melebar kearah permukiman. Dengan demikian konsep penataan kawasan wisata budaya di pesisir pantai Malalayang berbasis budaya masyarakat suku Bantik dapat tercapai.  

Kata Kunci: cultural heritage, pesisir pantai, ruang budaya, suku bantik, wisata

Full Paper disini

7.  KAJIAN PLACE ATTACHMENT PADA ANAK-ANAK DI DESA BALI AGA TENGANAN DENGAN VISUAL ANALYSIS  ( Antonius Karel Muktiwibowo,  Gede Windu Laskara)

ABSTRAK

Place Attachment yang merupakan bentuk keterikatan seseorang terhadap tempat sangat berpengaruh  pada pembentukan identitas individu maupun komunitas.  Karena Place attachment merupakan sebuah proses yang membutuhkan waktu, maka masa anak-anak merupakan masa kritis pembentukan place attachment dan identitas seseorang. Dari  sekian banyak penelitian arsitektur di Desa Tenganan, posisi anak-anak sebagai faktor kunci keberlangsungan budaya sering diabaikan. Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji bagaimana kualitas place attachment yang dimiliki oleh anak-anak Desa Bali Aga Tenganan yang penting dalam konstruksi identitas individu, masyarakat dan lingkungan fisik desanya. Metoda penelitian kualitatif diskriptif dipilih dengan pendekatan penelitian pemetaan perilaku yang terdiri dari pengamatan perilaku anak-anak. Selain itu proses koleksi data juga dilengkapi dengan interview verbal dan interview grafis dimana jawaban pertanyaan berupa gambar atau sketsa yang digambar langsung oleh anak-anak. Semua data yang didapatkan dalam penelitian kemudian dianalisa menggunakan visual analysis method dimana data grafis dikategorikan dan diinterpretasikan. Proses komparasi dan korelasi data yang bervariasi merupakan proses analisa data lanjutan untuk mendapatkan kesimpulan tentang kualitas place attachment yang dimiliki anak-anak di Desa Tenganan. Sehingga, pada akhirnya penelitian ini dapat menghasilkan penilaian kualitas place attachment yang dimiliki anak-anak, serta rekomendasi positif untuk keberlangsungan budaya masyarakat dan identitas lingkungannya.

Kata Kunci: place attachment, behaviour mapping, visual analysis, perilaku

Full Paper disini

8. IDENTIFIKASI TINGKAT PERUBAHAN KAWASAN BERSEJARAH MENGGUNAKAN VISUAL IMPACT ASSESSEMENT  DAN TIPOLOGI BANGUNAN DI KORIDOR JALAN IJEN, MALANG ( Eddi Basuki Kurniawan, Novita Dian Zahdella, dan Wulan Astrini )

ABSTRAK

Tampilan visual Kawasan Koridor Jalan Ijen Kota Malang merupakan salah salah satu elemen citra kota yang masih dapat diamati sebagai konteks kawasan dengan homogenitas fungsi dan tipologi arsitektur. Penampilan karakter visual bangunan sejarah di Kawasan Ijen merupakan gaya arsitektur Empire Style. Saat ini, banyak penataan dan tampilan bangunan di Kawasan Ijen Kota Malang yang berubah dan tidak memperhatikan kaidah arsitektural yang ada sehingga dalam kajian ini peneliti akan meneliti bagaimana tingkat perubahan nilai  visual bangunan/nilai kontras visual  yang terjadi di Kawasan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode tipologi jati diri bangunan untuk menentukan karakteristik bangunan asli atau dengan tingkat perubahan kecil dan bangunan yang sudah banyak mengalami perubahan. Selanjutnya Analisis dampak visual (Visual Impact Assessement) digunakan untuk menilai tingkat perubahan visual dalam kawasan pada tiap segmen di Jalan Ijen. Hasil hubungan kedua analisis ini akan digunakan untuk mengidentifikasi perubahan di kawasan bersejarah jalan Ijen Kota Malang.

Kata Kunci: tipologi visual bangunan, penilaian dampak visual, tingkat perubahan

Full Paper disini

9.  POLA PEMANFAATAN RUANG PEMUKIMAN MASYARAKAT BAJO DI DESA LEMO BAJO KABUPATEN KONAWE UTARA SEBAGAI ARAHAN PENATAAN KAWASAN PEMUKIMAN PESISIR ( Santi, Siti Belinda Amri, dan Haryudin )

ABSTRAK

Rumah masyarakat di Desa Lemo Bajo memiliki karakteristik berbeda dari rumah masyarakat nelayan pada umumnya. Pada awalnya, masyarakat di desa Lemo Bajo yang mayoritas adalah suku Bajo menempati laut sebagai tempat bermukim, namun berjalannya waktu menjadikan masyarakat ini sebagai komunitas tersendiri dan hidup menyatu dengan suku yang tidak lagi homogen. Hal ini berpengaruh pula dengan rumah tinggal dan pola pemukiman mereka. Tujuan penelitian Pola Pemanfaatan Ruang Pemukiman Nelayan Suku Bajo di Desa Lemo Bajo adalah melihat kecenderungan pemanfaatan ruang pemukiman di desa Lemo Bajo untuk mengetahui pola pemanfaatan ruang sebagai arahan penataan kawasan pemukiman pesisir. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan metode analisis normatif, metode deskripsi kuantitatif dan kualitatif, serta metode analisis keruangan [spasia]. Berdasarkan analisa pola tata ruang pada pemukiman nelayan di desa Lemo Bajo dipengaruhi oleh pola sirkulasi jalan karena berada pada jalan utama lintas kabupaten / propinsi yang membentuk pola linear. Ruang di antara jalan utama dan rumah dimanfaatkan oleh masyarakat suku Bajo untuk menjemur algae.

Kata Kunci: pemanfaatan ruang, Lemo Bajo, pemukiman pesisir

Full Paper disini

10. KAJIAN PENATAAN RUANG KAWASAN JABOTABEK DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM ( Parino Rahardjo )

ABSTRAK

Jakarta sebagai ibu kota Negara, kota bisnis dan perdagangan menjadi kota dengan populasi tinggi, Luas lahan terbatas di Jakarta mendorong warga yang bekerja di Jakarta untuk memilih daerah pinggiran kota Jakarta sebagai alternatif  tinggal alternatif. Pertumbuhan penduduk, dan potensi pasar properti mendorong terjadinya perubahan di daerah pinggiran kota Jakarta seperti Bekasi, Bogor, Tangerang Selatan dan mendorong konversi, rawa, dan lahan pertanian produktif lainnya, pada akhirnya mengubah ekosistem wilayah tersebut. Tujuan penelitian untuk mengkaji perubahan tata ruang di wilayah Jabotabek. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif untuk mempelajari perubahan tata guna lahan di wilayah Jabotabek, khususnya di Kabupaten Bogor, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Bekasi, dengan menggunakan data spasial berupa citra satelit sejak tahun 1998 sampai dengan 2012. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terjadinya perubahan pola ruang terbuka hijau, taman hutan / kota, dan badan air seperti danau dan sungai.

Kata Kunci : Badan air, Ekosistem, Hutan Kota,  Ruang Terbuka Hijau.

Full Paper disini

11.  RUANG TEROR PADA LABIRIN KAMPUNG PULO ( Coriesta Dian Sulistiani )

ABSTRAK

Ruang terbentuk tak hanya dipengaruhi oleh suatu geometri yang teraga semata, tetapi terdapat dimensi lain yang mempengaruhi, yaitu dimensi kendali. Dimensi ini berkaitan dengan bagaimana seseorang mampu mengendalikan ruangnya. Pada formalisasi ruang seseorang menanamkan citra kendali pada ruang yang dilakukan dengan memberikan simbol-simbol batas kuasa. Akan tetapi, ketertutupan batas kuasa ini justru berperan ganda. Di satu sisi, ketertutupan batas kuasa ini menegaskan kendali penciptanya, tetapi di sisi lain, ketertutupan batas ruang ini juga menegaskan adanya keberadaan realita lain atau realita the Other yang dinegasi dengan menghadirkan realita yang dialami atau realita the Body di dalam ruang. Kesadaran akan hadirnya dualitas realita the Body dan the Other dapat menyebabkan terjadinya intellectual uncertainty. Intellectual uncertainty inilah penanda guncangan pada kendali seseorang terhadap ruang yang dialaminya, sehingga terjadilah Ruang Teror. Akan tetapi dualitas realita ini, pada ruang keseharian, terjadi berulang-ulang kali, melalui tempat dan waktu. Keberulangan ini mengaburkan kehadiran realita the Other, melumpuhkan kesadaran akan potensi adanya dualitas realita pada ruang, mengubur potensi teror. Labirin hadir sebagai formalitas ruang yang mengungkap dualitas realita the Body dan the Other, menghadirkan intellectual uncertainty pada ruang, menciptakan Ruang Teror bagi mereka yang mengalami ruang. Tulisan ini akan membahas bagaimana Labirin mampu menciptakan Ruang Teror bagi mereka yang mengalaminya.

Kata Kunci:  kendali; intellectual uncertainty; labirin; Ruang Teror; dualitas realita the Body – the Other

Full Paper disini

12. FAKTOR KRITIS PENENTU KEBERHASILAN KOLABORASI DESAIN PADA PERUSAHAAN PROPERTI DI KABUPATEN GRESIK ( Moh. Saiful Hakiki, Ikhtisholiyah, dan Dandy Nugroho ) 

ABSTRAK

Proses desain pada proyek konstruksi yang kompleks membutuhkan kolaborasi oleh para profesional dari berbagai bidang. Ditelitinya faktor-faktor penentu keberhasilan memegang peranan penting agar proses kolaborasi dapat dikelola dengan baik. Kolaborasi desain pada proyek properti melibatkan tim yang bekerja secara in-house, di mana tim tersebut kemudian berkolaborasi dengan konsultan eksternal. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh faktor kritis penentu keberhasilan kolaborasi desain pada perusahaan properti di Kabupaten Gresik. Penelitian dilakukan dengan menganalisa hasil survei pada tim in-house. Survei mengukur persepsi responden mengenai variabel-variabel yang diperoleh dari penelitian sebelumnya mengenai faktor-faktor di dalam kolaborasi. Metode analisis yang digunakan adalah analisis faktor. Dari hasil analisis faktor, diperoleh 7 kelompok faktor penentu keberhasilan yaitu proses kolaborasi; manajemen hubungan antar kolaborator; aktualisasi diri di dalam karir/pekerjaan; individu, tim dan lingkungan eksternal; kerja sama tim; durasi kolaborasi; dan permintaan atasan/konsumen. Faktor Proses Kolaborasi dapat dikatakan tepat dalam merangkum anggota variabel di dalamnya dan menjadi faktor kritis penentu keberhasilan kolaborasi desain.

Kata kunci: Kolaborasi Desain, Faktor Kritis Keberhasilan, Analisis Faktor

Full Paper disini

13. TIPOLOGI RUMAH ADAT PADA DESA BALI AGAStudi Kasus pada Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng ( Tri Anggraini Prajnawrdhi, Ni Made Yudantini )

ABSTRAK

Desa Bali Aga dikenal juga dengan desa Bali Mula yang merupakan desa tua dan masyarakatnya merupakan penduduk asli pulau Bali sebelum kedatangan penduduk dari Jawa pada era Kerajaan Majapahit. Desa ini tersebar di beberapa kabupaten yang ada di Bali, dan keberadaannya saat ini masih dilestarikan oleh penduduk setempat. Desa Tigawasa yang berada di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng memiliki beberapa tinggalan sejarah yang salah satunya adalah rumah adat yang masih ada hingga kini. Namun keberadaan rumah adat ini sudah semakin mengkhawatirkan mengingat transformasi bentuk dan fungsi terhadap rumah adat ini sudah berlangsung sejak lama dan tidak bisa dihindari. Artikel ini mengupas dengan jelas tipologi rumah adat Desa Tigawasa dan kharakteristik dari rumah adat tersebut yang merupakan identitas dari desa ini. Pendekatan kualitatif digunakan pada penelitian ini, yang disertai observasi lapangan di Desa Tigawasa dan wawancara dengan pihak-pihak terkait. Hasil menunjukkan bahwa terdapat tiga-tipe rumah adat di Desa Tigawasa yang masih dapat dilacak jejaknya dan masih memiliki kharakter asli yang mampu menunjukkan identitas rumah adat desa ini.

Kata Kunci: Bali Aga, rumah adat, tipologi, transformasi

Full Paper disini

14. PERUBAHAN ARSITEKTUR TRADISIONAL HUNIAN DESA BAYUNG GEDE, BANGLI ( Widiastuti, Syamsul Alam Paturusi, Ngakan Ketut Acwin Dwijendra , Gede Windu Laskara )

ABSTRAK

Desa Adat Bayung Gede adalah salah satu desa Bali Aga yang terletak di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Sekalipun dibangun dengan konsep kosmologi Hindu, morfologi Desa Adat Bayung Gede berbeda dengan desa adat secara umum yang ada di Bali karena belum masuk pengaruh Hindu Jawa. Keunikan Desa Adat Bayung Gede telah berubah seiring dengan lajunya pembangunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengindetifikasi bentuk-bentuk perubahan morfologis dan arsitektural Desa Adat Bayung Gede, faktor-faktor yang menyebabkan perubahan, dampak dari perubahan tersebut, usaha yang telah dilakukan untuk mengendalikan perubahan agar tidak merusak keunikan desa tersebut. Dari hasil identifikasi, secara morfologis keadaan Desa Adat Bayung Gede tidak mengalami perubahan yang berarti. Perubahan hanya terjadi pada penambahan pasar dan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di bagian selatan desa. Namun dari hasil inventarisasi menunjukkan bahwa sebagian besar material bangunan telah berubah. Bangunan yang pada awalnya dibangun dari bahan bambu 70% telah berubah dengan material buatan seperti batako atau dinding permanen lainnya. Demikian juga atap, 90% telah berubah menjadi seng, genteng atau sirap. Gaya bangunanya juga banyak yang berubah. Style Bayung Gede banyak yang diganti dengan style Gianyar. Faktor yang menyebabkan perubahan adalah pertambahan jumlah keluarga, peningkatan status ekonomi dan pendidikan, rendahnya rasa memiliki keunikan desa. Faktor lain adalah permasalahan sanitasi dan air di desa ini. Partisipasi dari seluruh masyarakat baik internal maupun eksternal juga sangat kurang sehingga perubahan terus berlangsung. Belum ada usaha yang signifikan untuk melestarikan keunikan arsitektural desa tersebut. Perlu diciptakan strategi agar masyarakat sebagi pewaris budaya local mau melestarikan keunikan tersebut.

Kata kunci: morfologi, perubahan

Full Paper disini

15.  IDENTIFIKASI POTENSI INTERNAL, TANTANGAN, DAN PELUANG PENGEMBANGAN LIMA TIPE DAYA TARIK WISATA DESA SINGAPADU TENGAH  ( I Made Suarya, I Nyoman Widya Paramadhyaksa, Ni Ketut Agusinta Dewi, dan I Gusti Agung Bagus Suryada)

ABSTRAK

Desa Singapadu Tengah adalah sebuah desa tradisional yang berlokasi dalam wilayah Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Desa ini memiliki banyak daya tarik wisata potensial yang belum dikembangkan, seperti area persawahan, daerah tepian sungai, seni pahat, seni tari-tabuh, sosial budaya, bangunan candi tebing, bangunan puri, kuliner, dan beberapa kompleks pura sebagai objek wisata spritualnya. Kesadaran tentang tinggi potensi wisata daerah ini selanjutnya mendorong munculnya gagasan dari para tokoh masyarakat dan PEMDA untuk segera mengoptimalkan potensi wisata desa. Makalah ini merupakan sebuah penggalan dari hasil penelitian tentang identifikasi aspek kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan dari beberapa daya tarik wisata yang dimiliki Desa Singapadu Tengah Hasil penelitian akan dijadikan pedoman dalam pengembangan desa wisata ini.

Kata Kunci: desa wisata, aspek, potensi, Singapadu Tengah

Full Paper disini

16.  CULTURAL LANDSCAPE: POLA DESA TRADISIONAL DI DESA BUAHAN, KINTAMANI ( Ni Made Yudantini, Tri Anggraini Prajnawrdhi )

ABSTRAK

Bali sebagai salah satu tujuan pariwisata, dikenal dengan kekayaan alam, adat istiadat beserta lansekap budayanya. Tradisi unik dan masih asli diwariskan turun temurun dan belum mendapat pengaruh budaya Majapahit. Tradisi ini terdapat di desa-desa tua dikenal dengan sebutan desa-desa Bali Aga, salah satunya Desa Buahan di pesisir Danau Batur, Kintamani. Pola desa yang linear dengan berorientasi ke arah gunung sebagai orientasi utama (kaja) dan ke arah danau sebagai kelod (Muller, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih mendalam tatanan pola desa di Desa Buahan termasuk fungsi-fungsi yang terdapat dalam pola tersebut. Hasil awal penelitian menyimpulkan terjadi perubahan khususnya pada bangunan rumah tinggal dimana hal ini tidak dapat dibendung oleh adanya pengaruh perubahan dinamika kehidupan dan ekonomi. Namun secara menyeluruh desa masih tetap mempertahankan pola desa yang linear dan sikut satak yang ada pada permukiman. Melalui penelitian kualitatif, metode yang digunakaan adalah observasi ke lapangan, dan wawancara kepada tokoh-tokoh terkait di desa. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam baik mengenai sejarah perkembangan desa, adat istiadat, perkembangan dan perubahan yang terjadi khususnya pada pola tata ruang desa. Hasil akhir penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi lebih akurat mengenai keberadaan desa-desa tua di Bali dan menjadi sumber inspirasi untuk penelitian selanjutnya.

Kata Kunci: lansekap budaya, pola tata ruang desa, Desa Buahan, Kintamani

Full Paper disini